Tuan, Aku Rindu

Selamat dini hari, Tuan

Maaf mengganggumu di tengah malam seperti ini. Bagaimana keadaan jiwamu? Semoga semuanya tetap seimbang.

Beberapa bulan terakhir aku menyimpan semua rasaku. Dan pada akhirnya aku merasa penuh. Aku tidak lagi bisa menyimpan semuanya.

Tuan kemana saja? Bahkan dalam mimpi pun, tuan, tidak pernah lagi singgah.
Mimpi terakhir tentang tuan, menyedihkan buatku. Tuan meniggalkan aku sendirian di sebuah tempat. Pergi begitu saja menggunakan kendaraan. Sedangkan aku hanya bisa melongo melihat kepergian tuan.

Aku rindu memimpikan tuan. Tuan yang selalu bisa menenangkan aku, hanya dengan menggenggam tangan dan tatapan yang meneduhkan. Semua ketakutan akan sirna dalam sekejap.

Lalu, pada akhirnya aku menemukan sebuah kenyataan. Kenyataan yang membuatku takut. Karena tuan akan pergi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Tuan lelah dan kecewa dengan keadaan tuan di tempat ini. Tempat pertama kali kita bertemu.

Bahkan, sebelum aku memimpikan tuan. Hubungan kita tidak terlalu bagus. Tuan tidak menyapaku seperti biasa. Kita kembali menjadi asing. Sampai pada akhirnya ragaku tidak lagi kuat menyimpan rasa.

Tuan, aku ingin berterima kasih kepada tuan. Karena meneleponku pagi itu. Walau sesungguhnya pembicaraan kita tidak penting. Tapi, kita bisa saling tatap melalui jendela yang tirainya terbuka lebar.

Beberapa hari lalu kita pulang bersama. Dengan mobil yang masih sama. Kita habiskan waktu dua setengah jam dalam perjalanan.
Perjalanan kali ini, tuan tidak banyak mengeluh. Tidak banyak menggerutu dan mengomel. Kita melewatinya dengan obrolan yang bermanfaat. Dan maaf, aku tidak bisa memberikan solusi untuk masalah tuan. Aku hanya bisa berdoa, meminta kepada Tuhan agar tuan kuat melewati semuanya.

Tuan mengantarku sampai depan rumah. Hal yang sudah lama sekali tidak dilakukan. Karena biasanya hanya sampai depan gang.
Selama dalam perjalanan itu, tuan memberikan perhatian-perhatian kecil yang sesungguhnya membuat aku bahagia.

Setelah tuan pergi, aku merasa seperti ada beban dalam diriku. Aku merasa sesak dan penuh. Ada emosi yang tidak bisa aku sampaikan. Ada rindu yang semakin membesar.

Aku masih ingin duduk di sebelah tuan. Mendengar cerita-cerita tuan. Atau, paling tidak, hanya sekadar menanyakan, Tuan, sudah sampai rumah?

Itu hal yang mustahil aku lakukan. Aku sadar akan posisiku. Aku bukan siapa-siapa bagi tuan. Aku hanya wanita pemimpi bodoh yang mendamba pangeran berkuda.

Tuan, perasaan ini masih sama dengan lima tahun yang lalu. Bahkan semakin dalam dan semakin menyakitkan. Walau selama perjalan tetap ada pasang surutnya.

Jika tuan membaca tulisan ini, berpura-puralah tidak pernah membacanya. Tapi, masih bolehkah aku meminta sesuatu?

Jika kelak tuan benar-benar pergi, pamitlah kepadaku. Genggam kedua tanganku, dan ijinkan aku untuk mendekap tuan sekali saja.

Jika tuan tidak mau. Aku akan meminta kepada Tuhan, agar ia mengijinkan aku mendekap tuan untuk yang terakhir.

Tuan, aku rindu.

Komentar

  1. Apa lagi yang lebih menyakitkan dari kepergian tanpa adanya pamitan T_T

    BalasHapus

Posting Komentar