Hai Saya! Terima Kasih

Hai saya, Selamat ulang tahun. Selamat memasuki pertengahan tiga puluh.
Bagaimana rasanya hidup tiga puluh lima tahun di dunia yang entah? Dunia yang kadang-kadang kita tidak ingin berada di dalamnya.

Pada akhirnya, di usia ini saya menemukan tujuan hidup. Walau masih belum tahu pasti, untuk apa saya dihadirkan di dunia yang entah ini.
Mari kita kembali ke beberapa belas  tahun silam.

Awal dua puluh, 
saya marah pada keadaan, pada kehidupan karena merasa banyak ketidakadilan di sekitar saya. Di kepala saya selalu muncul kata kenapa. Kenapa ini begitu, kenapa itu begini, kenapa nggak kayak gitu aja, kenapa, kenapa dan kenapa. Setiap kenapa yang menemukan jawabannya, akan muncul kenapa lainnya. Dan setiap kenapa yang tidak menemukan jawabannya, saya merasa sedih dan marah. Saya marah pada Tuhan, lalu memilih diam dan tidak peduli. Karena menurut saya, kepedulian menyebabkan gap, dan gap membuat saya sedih. Kala itu saya hanya ingin mati muda atau paling tidak, tidak lebih dari lima puluh tahun.

Pertengan dua puluh
Saya tidak peduli tentang mati ataupun hidup. Toh target saya belum lewat. Saya menjadi manusia tanpa emosi dan ekspresi. Kadang saya masih menpertanyakan tujuan Tuhan mengadakan saya di dunia yang entah. Setiap tahunnya berlalu begitu saja, walau hidup tidak seperti di jalan tol yang lurus dan bikin ngantuk. Pertanyaan ‘kenapa’ di kepala sudah saya bungkus dalam plastik hitam dan saya buang ke kali.

Awal tiga puluhan
Pertanyaan kapan nikah
Pernyataan nanti keburu tua, nanti nggak ada yang urus kalo sudah tua, jangan pilih-pilih dan pertanyaan-pertanyaan template lainnya mulai berdatangan. 
Saya cuma pengen bilang TAI kalo boleh ditambah juga saya pengen bilang ASU. Pada bisa diem nggak tuh mulut. 
Ahhh.. sayangnya kata-kata itu tidak benar-benar keluar. Yang terlihat hanya sebuah senyuman dan kelakar-kelakar tidak penting lainnya.
Mereka pikir mudah mencari pasangan yang tepat, yang sisa hidup kita akan kita habiskan dengan itu orang.
Saya rasa cukup sulit untuk mencari orang yang dengan sadar bilang ke saya “Tidak apa-apa, kita bisa coba lagi nanti. Tidak apa-apa, baca saja buku yang kamu senangi dulu, pelan-pelan kita baca buku yang lain. Atau dia akan bilang, tidak apa-apa, pelan-pelan saja, kamu sedang berproses. Kita sedang bertumbuh bersama”
Dan menemukan orang yang tidak memaki ketika marah.
Sampai dengan usia ini pun, saya masih mencari tujuan hidup saya. Apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup.

Pertengan tiga puluh
Dua tahun sebelumnya, saya berniat mengakhiri hidup, walau masih hanya di kepala. Masih memikirkan cara yang tidak menyakitkan. 
Apa saya deprsesi?
Ada masalah keluarga?
Atau apa?
Tekanan datang bukan dari keluarga tapi dari luar yag tidak bisa saya tahan. Saya dijejali ketakutan dan kekhawatiran orang lain. Saya tidak bisa bilang, STOP! Saya capek dengan ketakutan anda. Jiwa saya tidak lagi bisa menampung. Saya tenggelam dalam ketakutan orang lain.
Mungkin banyak yang bertanya, bagaimana hubungan saya dengan Tuhan.
Kala itu hubungan saya dengan Tuhan seperti hubungan saya dengan bapak. Saya tau dia ada. Itu sudah.
Sampai pada suatu malam, ketika saya ikut meditasi. Saya merasa tertampar, mengabaikan yang selama ini benar-benar ada di dekat saya. Dia seperti bilang, tidak apa-apa, ini akan baik-baik saja. Sejak saat itu saya mulai berpikir untuk mengisi hal baru di tiap tahunnya.

Beberapa hari sebelum genap usia di tiga puluh lima. Pada akhirnya saya menemukan tujuan hidup saya, walau saya masih belum tahu tujuan Tuhan mengadakan saya di dunia yang entah.
Saya menemukan tujuan hidup saya, yaitu keingan mati. Mungkin waktu saya tidak banyak lagi, mungkin sisa lima belas tahun. 
Jika kelak saya mati. Saya tidak ingin mati …. 


Atau ketika saya mati, saya memang sudah layak mati, paling tidak saya layak berada di api penyucian.
Dan bagaimana agar saya menjadi layak, itu yang masih menjadi PR besar.
Lalu, bagaimana hubungan saya dengan Tuhan?
Saya mulai mendekat sambil senyum-senyum. Sedikit-sedikit meminta. Walau, kadang masih abai.



Hai, saya
Terima kasih sudah menemani tiga puluh lima tahun
Terima kasih sudah bertahan, berproses, dan bertumbuh dengan baik
Hai, saya
Bicaralah
Berekspresilah
Bersedihlah
Menangislah
Bergembiralah
Berceritalah
Memakilah jika perlu
Hai, saya
Saya tau kita masih punya luka, masih punya trauma
Kita belum tau cara mengobatinya, karena kita masih mencari penyebabnya.
Hai, saya
Tidak apa-apa
Semua akan baik-baik saja
Mari kita berbahagia


Komentar