Perjalanan Merilis Luka

Dear Tuan, 

Bagaimana keadaan jiwamu? Semoga kau masih kuat untuk menjaga kewarasan dan membaca ocehan saya. 

Menurut tuan apa yang akan terjadi ketika tiga orang manusia dengan lukanya masing-masing disatukan dalam sebuah perjalanan?
Semua terlihat berpura-pura kuat
Ehh.. tapi tidak dengan saya.

Saya menelanjangi diri memperlihatkan begitu banyak luka yang tidak sengaja saya balut agar tidak terasa sakit.
Lalu, dengan begitu kasarnya saya menunjukan luka itu—membuka balutannya tanpa peduli mereka suka atau tidak.

Tapi, pada akhirnya saya merasa menjadi manusia egois, ketika saya ingat matanya berkaca-kaca ketika bercerita. Ia menahan sangat banyak emosi di dadanya. Tapi, ia masih saja berpura-pura kuat. Dan saya tidak memberikan diri secara utuh pada saat itu.

Kala itu, saya melihat kerapuhan yang sebelumnya tidak pernah ditunjukan. Seandainya malam itu saya tidak menunggu momen yang pas dan berani bilang
Tidak apa-apa sesekali terlihat rapuh.
Tidak apa-apa sesekali menangis di depan orang lain.
Dan tidak apa-apa, tidak apa-apa lainnya. 
Tapi, ternyata tidak pernah ada momen yang pas jika kita tidak memulainya.

Tuan, saya juga melihat seseorang yang lainnya, yang tubuhnya tidak lagi dipenuhi luka tapi tubuhnya adalah luka itu sendiri. Tapi, entah bagaimana caranya ia membalut luka-luka itu dengan sempurna sampai tidak terlihat sama sekali. Lagi-lagi seseorang lainnya ini menutup lukanya agar terlihat kuat.

Tuan, kenapa manusia harus seperti itu? 
Kenapa manusai berpura-pura kuat padahal sesekali tidak apa-apa?
Sesekali menangis
Sesekali marah
Sesekali bersedih
Sesekali terlihat rapuh
Sesekali memberontak

Saya tahu perjalanan ini tidaklah mudah dan akan sangat panjang, tapi saya berharap, pelan-pelan kami bisa membuka balutan-balutan tiap luka. Agar lukanya mengering dan sembuh. Walau kami yakin, akan ada rasa nyeri dan sakit yang sama ketika proses penyembuhan dan pada akhirnya dapat merilis luka-luka di diri kami satu demi satu. 

Komentar