Reka ulang
Kala itu, aku menatapnya dengan lekat. Amat lekat. Nyaris tak ada jeda. Aku hampir menyerah, memintanya bercerita.
Ia hanya diam. Menunduk. Sesekali menatapku, dengan mata yang berkaca-kaca. Lalu, air mata perlahan mengalir dengan tenang di pipinya.
"Ada apa?" tanyaku pelan.
"Firasatmu lagi?" Kugenggam tangannya, sekadar menguatkan.
"Bisa kamu batalkan keberangkatanmu?" tanyanya dengan sedikit memohon.
Aku diam, menatapnya heran.
Aku biarkan ia larut bersama tangisnya. Agar kegundahannya luruh bersama air mata yang mengalir.
Setelah berhasil meredakan tangisnya sendiri, ia berkata dengan terbata, "Kamu jangan pergi. Aku takut akan terjadi sesuatu padamu."
Aku memeluknya erat, seperti tidak akan bertemu lagi. Tangisnya kembali pecah, lebih dalam dari sebelumnya.
Beberapa potong kejadian berkelebat cepat dalam benakku. Dadaku berdegup kencang seperti pelari marathon.
Kubelai kepalanya, untuk menenangkan dirinya sekaligus diriku sendiri.
"Aku akan baik-baik saja. Aku hanya pergi sebentar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Tapi," sanggahnya lagi.
"Yang terjadi akan tetap terjadi. Kita tidak bisa mengubah apapun untuk itu."
Ia melepas pelukan. Berlari meninggalkanku. Suara decitan mobil dan benturan sangat keras terdengar.
Aku mengejarnya. Seperti melihat reka ulang sebuah kejadian.
***
"Kasihan pria ini, sudah satu tahun belum ada perubahan. Masih saja berteriak histeris seperti decit ban mobil dengan aspal," kata perawat dengan tulisan RSJ di bajunya, kepada teman seprofesinya.
Komentar
Posting Komentar