Diorama Senja

Ini hari kedua aku di tempat ini. Tempat dimana 3 bulan lalu kami berjani utuk bertemu. Ini akan menjadi pertemuan pertama setelah 5 tahun berpisah. Tidak lama setelah kepergian ayahnya. Aku teringat akan pertemuan pertama kami. Hari pertamaku di tempat itu. Aku diajak berkeliling untuk di kenalkan kepada yang lainnya. Dia duduk di lantai dengan kertas yang berserakan.
 Dia menyambut tanganku.
“senja”
“Diorama” jawabku
                                                                                  ***

Hubungan kami semakin dekat.  dan yang ku ketahui dia mempunyai seorang sahabat bernama cakrawala. Nama yang unik pikirku. walaupun aku belum pernah bertemu dengan sahabat yang selalu di ceritakannya.
Aku kembali menyusuri pantai ini. Dia belum juga terlihat, kabar pun tak ada. Hari hamper gelap. Aku duduk sejenak sambil menikmati pergantian terang menuju gelap. Itu senja, sama seperti nama orang yang aku tunggu.
Aku meremas remas pasir yang ada di sekitarku, tak sengaja tanganku menyentuh sesuatu. Berbentuk kotak, aku sedikit menggalinya untuk mendapatkan benda itu. kotak berwarna hitam dengan kertas disalamnya. ku bawa kotak itu ke penginapan.

(surat1)
“ Pagi ini aku enggan sekali beranjak dari tempat tidurku. Sinar matahari yang masuk kekamar membangunkanku dari mimpi indah. Kulihat jam waker yang masih berbunyi di bawah bantalku, menunjukan pukul 7 pagi. Aku duduk di tepi tempat tidur, mengingat mimpi yang semalam. Seandainya itu nyata. Ketika aku sedang merapikan berkas yang tercecer di lantai, seseorang di perkenalkan kepadaku. Dengan senyum ku terima tangannya dan menyebutkan namaku.“ .  ada getar yang aneh,  Ada mata yang sepertinya telah ku kenal lama. Mata yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. “

(Surat 2)
“ Tadi malam aku bermimpi tentang mu lagi. Jika saja aku bisa mengatur, apa yang ingin aku mimpikan. Tentunya aku ingin terus memimpikanmu. Mimpi semalam mungkin adalah mimpi yang bermakna dari mimpi-mimpi sebelumnya bersamamu. Kamu berikan tanganmu untuk ku genggam. Tapi untuk apa? Jika tangan itu tidak bisa selalu ku genggam”

(Surat 3)
“aku merindukanmu! Kesibukan kita membuat kita menjadi asing, satu sama lain. Mungkin rasa ini tumbuh sejak pertama kita berjabat tangan, dan menyebutkan nama kita masing-masing. Kita saling bertatap dan berjabat tidak lebih dari 1 menit. Tapi rasa yang ada semakin bersemi.
Semakin sering kita bertemu dan berbincang, semakin tumbuh rasa yang ada. Rasa ini tumbuh seperti  kumis tipis yang menghiasi wajahmu. Samar tapi nyata.
Aku menyebutmu pria berkumis tipis, walau terkadang tidak ada kumis yang menghiasai wajahmu. Aku semakin mengagumimu. Aku menjadikan diriku bodoh jika berbicara denganmu. Selalu berusaha menatap matamu, jika kita sedang berbicara. Walau sebenarnya dada ini berdegup kencang.
Setiap ada kesempatan, aku berusaha untuk melihatmu dari celah kaca yang memisahkan tempat kita. Itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak ingin terlihat jika aku menaruh hati padamu. Aku tidak banyak berharap bahwa kamu juga mempunyai rasa yang sama. “


(Surat 4)
“cinta ini terhalang, bahkan terlarang. Kita tidak akan pernah bisa saling menggenggam. Haruskah aku meminta kepada Tuhan, agar dia yang disisimu pergi meninggalkanmu. Agar aku bisa bersamamu, dan bisa saling menggenggam. Aaahhhh… itu permintaan paling tidak masuk akal.
Bolehkah aku cemburu karena kedekatanmu terhadap yang lain?
Tapi cemburu paling bodoh adalah, cemburu pada dia yang telah kamu pilih sebagai tempat untuk berbagi. Cemburu pada ibu dari anak-anakmu. Rasa ini telah mempengaruhi raga, yang hanya ingin berada di dekatmu, walau tidak selalu disampingmu. “


Hampir satu minggu aku di tempat ini, tetapi aku belum juga bertemu dengannya. Ini senja terakhirku di tempat ini. Bukan senja yang kutemui, melainkan empat surat dalam kotak-kotak berwarna hitam, yang entah siapa penulisnya. Jarak di temukan kotak yang satu dengan yang lainnya tidak terlalu jauh. Mungkin kali ini aku bisa bertemu si empunya kotak, pikirku.
Aku berjalan menuju kotak-kotak tersebut kutemukan, aku melihat seorang wanita dengan kotak yang sama di tangannya. Aku menghampirinya perlahan, dan menujukan 4 kotak berwarna hitam. Dia sedikit kaget, dan matanya memandang jauh ke laut.
“boleh saya lihat kotak yang ada di tanganmu?”
Dia menyerahkan kotak itu, lalu dia duduk menghadap kearah terbenamnya matahari.
Aku membuka dan membaca isi surat itu sambil berdiri.

(Surat 5)
“mimpiku menjadi kenyataan. Bukan hanya tanganmu yang bisa ku genggam. Kamu juga memberikan badanmu untuk kupeluk. Saat berita kepergian ayahku samapai kepadaku. Waktu itu kita masih di tempat itu. Telpon genggamku berbunyi, nama dalam layar bertuliskan my angel. Suara ibu terdengan di seberang sana. “cepat pulang, ayah sudah pergi.” Aku tidak bisa berkata banyak pada saat itu. aku hanya bilang kepadamu dan kepada mereka yang ada di ruangan kita. “aku harus pulang sekarang, ayahku meninggal.” Lalu kamu menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang.
Di dalam mobil, kita tidak saling bicara. Hanya isak yang terdengar , Aku tidak kuasa menahan air mata yang menetes. Tanganmu sesekali menggengamku, hanya untuk sekedar menenangkan atau memberi kekuatan. Sebelum turun dari mobil, kamu memelukku dan membisikan kata “ kamu kuat.”
Cinta ini terhalang, bahkan terlarang. Rasa ini tumbuh sejak kita bertatap, berjabat dan menyebutkan nama kita masing-masing.
“Diorama”
“senja”
                                                                                ***
Aku duduk dengan perlahan, sambil menyerahkan sebuah foto.
“ apakah senja dalam surat ini, sama dengan senja di foto itu?”
“Diorama”
“cakrawala” jawabnya
“dimana senja?”
“ dua bulan yang lalu, senja kecelakaan dalam sebuah pendakian”
“lalu, kenapa kamu dan kotak-kotak itu ada disini?”
“ Dia sangat antusias ketempat ini, setelah janjian denganmu. Tapi Tuhan punya rencana lain akan dirinya. Walaupun dia tidak disini, tapi kotak-kotak ini sampai disini. Ini barang yang dibawa dalam pendakian itu. Dia mungkin bahagia disana, bisa saja kotak-kotak ini mewakili dirinya bertemu denganmu. Di tempat yang paling ingin dia datangi.”
Aku memejamkan mata sejenak, dan melihat cakrawala sedang menikmati senja dengan mata tertutup. Lalu aku beranjak dari sisi cakrawala, menuju laut dimana ombak menepi dan membawa segala sesuatu ke tengah laut. Aku melarung 6 kotak berwarna hitam. Yang salah satu kotaknya telah ku persiapkan sebelum pertemuan ini.

“permintaan paling tidak masuk akalmu kepada Tuhan terwujud, senja. Dan kamu tidak perlu lagi cemburu. karena dia yang kamu cemburui telah pergi. Tidak lama setelah kepergianmu dari kota dimana kita pertama bertemu”

Komentar