Antara Wasiat dan Masa Depan (Part 2)
Tangisnya mulai reda. Bahunya sesekali masih berguncang. Kuperhatikan wajahnya dengan seksama, ada lebam di pelipis kirinya. Dengan cepat ia menghalanginya dengan kerudung.
"Itu, kenapa?"kataku, sambil menunjuk pelipisnya yang lebam tadi.
Ia menggeleng, "Tidak apa-apa," jawabnya cepat.
"Yakin?" kataku lagi.
Ia mengangguk mantap.
Kuhembuskan napas kuat-kuat—beranjak meninggalkannya. Belum sempat melangkah pergi, ia memegang tanganku—memintaku kembali duduk.
"Kejadiannya dua hari yang lalu. Saat aku baru sampai kost. Ia mengetahui, aku telah berbohong."
Ia meneguk air minum yang ada di hadapannya dengan cepat. Menyeka mulutnya, juga dengan cepat. Menarik napas lama dan dalam, lalu, menghembuskannya lamban dan sangat pelan.
"Waktu itu aku pergi bersama teman-teman kantor. Tetapi, ia tidak mengizinkannya. Aku tetap pergi. Aku butuh sosialisasi bersama yang lain. Duniaku tidak hanya dengan dia. Aku kira, hanya sebentar—paling lama tiga jam. Tapi, ternyata tidak. Hampir tengah malam aku sampai di kost." Suaranya mulai parau, ada tangis yang ia tahan.
Aku diam. Mendengarkan tanpa menyela.
"Suara ketukan pintu terdengar pelan, saat aku selesai membersihkan diri. Ia menerobos masuk, saat pintu baru setengah terbuka. Aku didorong sampai merapat tembok. Tangannya kanannya terkepal melayang di udara. Tangan kirinya mencengkram bahuku kuat. Saat itu aku hanya bisa pasrah. Ia meracau—mengataiku wanita jalang. Lalu, tangannya menghantam tembok dengan keras yang juga mengenai pelipis kiriku."
Komentar
Posting Komentar