Antara Wasiat dan Masa Depan (Part 3)

"Bangsat!" Wajahku kaku menahan marah. Gigiku bergemertak karena emosi. Tanganku terkepal di bawah meja.

"setelah itu, ia pergi tanpa sepatah kata pun. Aku tidak berani berteriak. Takut mengganggu yang lainnya. Aku takut campur malu, jika tetangga mengetahui hal ini." Ia menunjukan memar di pelipisnya. 

Aku merabanya pelan. Ia meringis kesakitan. Suara ponselnya tiba-tiba berdering. Kulihat nama pria itu di layar ponsel. Ia menjauh dariku—menjawab dering ponselnya. 

"Kalian masih berhubungan?" tanyaku keheranan. 

Ia mengangguk lemas. 

"Kamu sudah gila!" 

"Aku tidak tahu harus gimana. Aku takut." Kepalanya menunduk. Air matanya menetes di pipi. 

Aku mengusap bahunya, "Apa yang kamu takutkan?" 

"Aku sudah berjanji dengan mendiang ibu. Sebelum meninggal, ibu bilang, agar aku menikah dengannya. Saat itu, kami sama-sama setuju dan berjanji untuk itu. Aku takut mengkhianati janji pada ibu. Aku takut ibu tidak tenang di sana." Kini, tangisnya pecah, tidak lagi terbendung. 

"Bagaimana dengan masa depanmu kelak? Dengan kebahagiaanmu? Belum manjadi suami istri saja, dia sudah kassr kepadamu. Bahkan, sampai melakukan kekerasan fisik. Kejadian itu, bukan untuk yang pertama dan terkahir kalinya. Bakalan ada kekerasan-kekerasan berikutnya. Jadi, lebih baik kamu pikirkan lagi untuk rencana pernikahan itu." 

Kami sama-sama terdiam, ketika pria itu datang. Ia menyambutnya dengan senyum manis. Pria itu mencium keningnya dengan lembut. Lalu, mengulurkan tangannya kepadaku untuk bersalaman. 

Buuukkk .... 

Aku menyambutnya dengan hantaman sangat kuat di wajahnya. Aku beranjak pergi. Sebelum aku menghilang dari hadapan mereka, kulihat kebelakang. Pria itu jatuh tersungkur. Dan ia berjongkok di sebelah pria itu—membantunya berdiri dengan wajah penuh khawatir.

Komentar