Buku Berwarna Jingga

Kembali kuletakkan gagang telepon yang sedari tadi kupegang. Ragu mulai menjalari untuk menekan tombol-tombol yang sudah kuhapal sejak lama. jari jemariku mendadak kaku. 

Aku bangkit dari kursi—melangkah menuju toilet. Meninggalkan telepon yang menunggu pasrah untuk digunakan. Kubasuh muka sekenanya. Berharap rasa cemas di dada menghilang bersama air yang mengalir.

Langkahku terhenti di depan pintu. Diorama duduk membelakangi. Ia duduk di meja kerjaku. Tangannya mengetuk-ngetuk meja seirama dengan senandung yang keluar dari mulutnya. 

"Kenapa berdiri di pintu? Ngalingin orang yang mau masuk. Sini! Jangan suka bengong. Jauh jodoh," katanya ringan. 

Cepat-cepat aku masuk ke dalam ruangan. Duduk di kursiku berhadapan dengannya. 

"Ada apa?" Aku bertanya dengan nada yang kubuat setenang mungkin. 

"Aku tadi telepon kamu berkali-kali, tapi nggak diangkat-angkat. Aku ke sini, kamunya nggak ada. Pas ketemu, eh... Malah lagi bengong di depan pintu." 

"Terus ... Kenapa bapak nyariin saya?" 

"Pengen aja." Tangan membolak-balik lembar buku berwarna jingga di hadapannya. 

Aku menarik buku itu dengan cepat. Mengambilnya dan menaruhnya di laci meja. Diorama tekejut. Matanya terbelalak ke arahku. 

"Biasa aja mukanya." Nadanya sangat menyebalkan. 

"Saya banyak kerjaan, Pak. Kalo nggak ada yang penting, mending bapak balik lagi ke ruangan bapak," kataku sedikit ketus, menyembunyikan panik yang menyerang. 

Ia bersiap pergi. Berdiri. Membereskan lengan kemejanya. Lalu, membungkukkan badannya. Mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Aku menahan napas—menunggu kata-kata yang keluar dari bibirnya.

"Nanti kita pulang bareng, ya!" 

Ia meninggalkanku cepat. Tidak sempat melihat anggukanku dengan mata berbinar. 

Kembali kukeluarkan buku berwarna jingga. Buku yang berisikan rasaku tentangnya. Rasa yang muncul dan bersemi dalam diri. 

Komentar