Buku Berwarna Jingga (Part 2)
Tidak sabar aku menunggu berakhirnya selesai jam kantor. Sedari tadi, aku hanya membolak balik buku berwarna jingga. Kepalaku penuh dengan pertanyaan. Apakah Diorama membaca buku ini? Jika, iya, apakah membaca semuanya atau sebagian.
Sebuah ketukan di kaca jendela membuyarkan lamunanku. Diorama dengan senyum khasnya yang memamerkan gingsul di gigi taringnya mengingatkanku akan ajakannya tadi siang. Aku mengangguk. Dengan cepat memasukkan buku berwarna jingga ke dalam tas.
Diorama sudah lebih dulu menuju parkiran saat aku masih membereskan meja kerja. Aku menyusulnya dengan berjalan lebih cepat. Ia sudah berada dalam mobil dan mulai menyalakan mesin saat aku tiba di parkiran.
"Lama banget kayak siput." Ia tertawa meledek.
Aku memonyongkan bibir tanda tidak setuju.
Mobil kami perlahan meninggalkan parkiran. Membelah senja yang sebentar lagi hilang. Memasuki barisan kemacetan yang perlahan mengular membelah ibu kota.
"Ada yang ingin aku katakan." Kata-kata pertama yang keluar setelah tiga puluh menit kami berada dalam kebisuan.
Apa ia mau membicarakan tentang isi buku itu. Kataku dalam hati.
"Tenang, bukan tentang buku."
Aku tersedak ludahku sendiri. Seperti diserang panic attack.
"Tidak lama lagi, aku akan pergi."
Batukku semakin kencang. Rasanya sulit untuk bernapas. Ia memberikan air minum dengan wajah sedikit panik.
"Kamu tidak apa-apa?"
Aku mengangguk dengan botol air yang masih menempel di mulutku.
"Kamu mau pergi ke mana?"
"Aku harus pergi. Aku tidak bisa terus di sini. Ada yang harus aku gapai di luar sana."
"Kita tidak bisa bertemu lagi?"
"Tidak usah berkaca-kaca gitu matanya. Nggak usah lebay."
Aku menghapus cepat air mata yang mengalir di pipi, sebelum ia semakin meledek.
"Kita hanya tidak lagi satu kantor. Tapi, kita masih bisa bertemu. Bertemu untuk membahas buku berwarna jingga itu." Tawanya pecah. Lagi-lagi ia berhasil meledekku
Komentar
Posting Komentar