Mulyadi

Namanya Mulyadi. Bocah laki-laki yang hari ini genap berusia 17 tahun. Hari di mana seharusnya ia berbahagia, berpesta bersama teman-temannya. Tapi, ia memilih pergi meninggalkan rumah dan juga sekolah.

Mulyadi bangun lebih awal sebelum matahari menampakan diri. Kantung matanya menghitam akibat satu bulan terakhir ia kurang istirahat. Mulyadi tidak segera beranjak dari tempat tidur. Ia membuka amplop berwarna biru muda.

"Mung, udah bangun," sapa ibunya yang cadel memanggil Mulyadi dengan Mung.

Mulyadi segera menyembunyikan amplop berwarna biru di balik bantalnya.

"Ini seragamnya udah emak setrikain." Sebuah kecupan mendarat di dahi Mulyadi. Lalu meninggalkan kamar setelah menggantungkan seragam di balik pintu.

Mulyadi bergegas, memasukan beberapa pasang pakaian ke dalam tas ranselnya, serta surat yang belum sempat ia baca tadi. Meyakinkan diri, bahawa yang ia lakukan adalah benar.

Ritual pagi berjalan seperti biasa, sarapan bersama emak. Tidak ada yang istimewa, bahkan sekadar ucapan selamat ulang tahun pun tidak. Setelah sarapan, Mulyadi pergi membawa motor, melambaikan tangan kemudian hilang dari pandangan emak.

"Jangan lupa pulang, Mung," teriak emak yang tidak lagi di dengar Mulyadi.
 
                          ****

Hari sudah siang, ketika Mulyadi berhenti di sebuah warung makan kecil pinggir jalan. Warung itu tidak terlalu ramai, kiri-kanannya dipenuhi ilalang yang tinggi dan lebat. Ia memesan segelas es teh manis pada wanita sebaya ibunya.

Kini Mulyadi berada jauh dari rumah, sekolah dan tidak punya tujuan pasti. Ia hanya ingin pergi menjauh dari ibunya untuk sementara.

"Mas kelihatan bingung?" Ibu penjaga warung bertanya sambil meletakkan es teh manis di atas meja.

"Ini diminum dulu," katanya lagi.

Mulyadi menyambar es teh di hadapannya. Menguras isi gelas dalam sepersekian detik. Ia bersandar pada dinding warung dengan tangan menggenggam amplop berwarna biru.

Ia membuka surat dari mendiang ayahnya yang boleh dibaca saat umurnya genap 17 tahun. Surat itu peninggalan satu-satunya untuk Mulyadi.

Nak, ayah tahu kau tidak dekat dengan ibumu. Sejak kau berumur lima tahun, kau menjauh darinya. Mungkin kau malu memiliki ibu yang seperti itu. Tidak seperti ibu teman-temanmu. Ibumu tidak mengerti banyak hal, bahkan dirinya sendiri.

Nak, ayah begitu menyayanginya saat pertama kali bertemu. Ibumu wanita tidak sempurna. Ia sakit, karena kelainan kromosom atau sarafnya sedikit terganggu, agah tidak paham tentang itu, dan ayah tidak peduli. Karena kelainan tersebut membuat kata-kata yang diucapkannya tidak begitu jelas. Sikapnya terkadang seperti anak kecil. Ibumu adalah wanita paling jujur dan baik yang pernah ayah temui. Ia akan mengatakan apa yang ada di kepala atau di hatinya saat itu juga.

Ibumu sangat bahagia ketika ia tahu bahwa ia mengandung engkau. Di balik kekurangannya, ia menjaga dan mengurusmu dengan sangat sempurna. 

Nak, sesungguhnya ayah takut jika harus pergi meninggalkannya lebih dahulu. Tapi, Tuhan punya kehendak lain untuk hidup ayah. Ayah titip ibumu, jaga dia untuk ayah.

                         ****

Malam semakin larut. Bulan mengambang di langit yang kelabu. Emak tertidur—kepalanya tergolek di atas meja makan bersama kue dengan lilin angka 17 yang menyala.

Komentar

Posting Komentar