Sejak Kau Berhenti Tersenyum
Selain kau berhenti tersenyum, tidak ada yang berubah sejak kejadian itu. Kita masih duduk di bangku taman yang sama menikmati pergantian warna langit.
Memperhatikan orang-orang sibuk mengejar waktu yang tidak pernah diam. Melihat beberapa pasang keturunan Adam bergandeng tangan dengan wajah berseri, dan beberapa lagi terlihat gusar karena akan kembali pada pasangannya masing-masing.
Aku memandangi wajahmu yang pucat pasi. Tidak ada emosi yang tersirat, semua tersedot habis pada malam gerimis itu. Tidak ada lagi rapal doa yang berebut minta diucap. Tidak ada lagi cerita tentang suara kereta, atau lagu yang dinyanyikan sekelompok orang di sudut stasiun.
Bibirmu terkatup rapat setelah kata yang menguap tanpa bekas. Sedangkan orang- orang itu masih bermain alat musik yang tidak bisa kudengar harmoninya.
***
Malam itu gerimis datang begitu saja. Kita tetap berjalan pelan sambil aku menceritakan tentang lagu baru yang dinyanyikan sekelompok orang, tentang sepasang anak adam yang berjanji betemu lagi esok hari.
Tangan kita saling menggenggam. Kamu menuntun aku selama perjalanan seperti aku baru pertama lewat jalan itu, sambil sesekali merapikan rambutku yang terlepas dari jepitan.
Sesampainya di rumah kamu memelukku sesaat. Aroma khas tubuhmu menguar—membuat aku tidak ingin melepaskan pelukan. Kecupan di kening menandakan kamu akan segera pergi.
"Terima kasih," kataku, seraya menutup pintu.
Tidak lama setelah sepeninggalmu, terdengar orang membuka pintu. Lalu, mereka menyerangku. Menahan kedua tangan dan mengikat mulutku setelah kata tolong yang menguap begitu saja.
Seseorang yang sangat kukenal suaranya—yang menyanyikan lagu baru hari ini berdiri di depanku. Napasnya memburu. Bagian leherku terasa dingin. Ia melucuti seluruh pakaian di tubuhku dan merangsek masuk merebut kesucianku.
Sebelum pria itu melucuti pakaianku, dua temannya memgangi tanganku. Dan salah satunya adalah kamu. Aroma tubuhmu sesaat singgah di hidungku.
Harapanku telah runtuh dan senyumku direnggut paksa. Malam itu adalah hari paling gelap di antara hari-hari gelapku lainnya.
***
Malam itu, belum lama beranjak dari rumahmu. Aku ditarik sekelompok orang masuk ke dalam dengan paksa. Mereka menyuruhku memegangi salah satu tanganmu agar kau tidak berontak.
Sebuah pisau karatan menempel di lehermu, membuatku tidak bisa melawan mereka. Harga diriku hilang bersama aksara dari bibirmu yang menguap begitu saja.
Sejak kau berhenti tersenyum, senja tidak lagi seindah dahulu, berpendar mengeluarka warna jingga, ungu, merah, hitam, dan kuning keemasan. Kini ia hanya mempunyai satu warna, kelabu.
Komentar
Posting Komentar