Sejenak (Part 8)

Seseorang terdengar memasuki ruangan. Pembuat tato sudah duduk di hadapan kami.

"Gimana keadaannya?" Ia menanyakan keadaanku pada Diorama.

"Aku baik-baik saja," kataku, sambil tetap memejamkan mata.

"Mau dilanjut?" katanya lagi.

"Tidak usah." Diorama dengan cepat menjawab pertanyaan pembuat tato.

Aku membuka mata, tersenyum pada pembuat tato. 

"Jadi," kataku.

Pembuat tato terlihat bingung, jawaban mana yang akan dia ikuti. Ia kembali melihat Diorama. Lalu, mengangguk dan meninggalkan ruangan.

"Tidak usah sok-sokan." Diorama berkata gemas.

Aku bersandar di pundaknya, lalu merebah di pangkuannya. Hal yang tidak pernah aku lakukan, apalagi di tempat orang. Mataku tetap terpejam, menikmati belaiannya pada kepalaku.

"Aku khawatir kalo kamu kenapa-kenapa tadi. Kalo takut, harusnya kamu bilang dari awal. Biar nggak nyusahin banyak orang. Kamu kan nggak enteng. Berat gotongnya tadi ke sini."

Aku mencubit lengannya dengan keras. Ia menjerit kencang. Pembuat tato bergegas masuk dengan wajah cemas.

"Tidak ada apa-apa. Dia iseng." Diorama melirik ke arahku.

Pembuat tato bernapas lega, tersenyum melihat tingkah kami seperti anak ABG sedang kasmaran.

Akhirnya kami berpamitan pulang. Pembuat tato yang juga temannya Diorama mengantarkan kami sampai halaman. Mereka berpelukan sebagai tanda berpamitan. 

Aku menjabat tangannya, dan berbisik padanya, "maaf telah merepotkan."
Ia tersenyum dan membelai pundakku, seperti adiknya.

Kami meninggalkan halaman rumah pembuat tato. Melambaikan tangan—salam perpisahan.

Komentar