Satu Minggu Setelahnya

Rumah Senja terlihat gelap seperti tak berpenghuni. Sebuah mobil berwarna putih terparkir di depan rumahnya. Aku berhenti tepat di belakang mobil, menyandarkan motor kuning bututku dengan segera.

Aku sengaja ke rumah Senja tanpa memberitahunya. Hampir seminggu ia tidak ada kabar sejak 24 Agustus lalu. Ia tidak menjawab telepon atau pesan singkatku. Senja bukanlah orang yang ekspresif, ia akan memendam masalahnya sendiri. Setelah masalahnya selesai ia baru menceritakan kepada orang lain.

Pintu pagar sudah terbuka. Pelan-pelan aku menuju pintu rumah dengan dada yang berdegup kencang. Jangan-jangan Senja dibunuh oleh perampok, atau ia diperkosa lalu dibunuh. Aku menepis semua pikiran jelek dari kepalaku.

Bau apek menguar dari dalam ketika aku sampai depan pintu. Seperti rumah yang lama ditinggalkan penghuninya. Kupencet sakelar lampu terdekat. Aku melihat pemandangan tidak biasa.

Aku tercekat. Napasku berhenti di tenggorokan. Sebuah kain yang sudah disimpul tergantung pada pagar lantai dua. Aku arahkan pandang pada sekeliling—rumah terlihat rapi, tidak ada tanda-tanda perampokan.

Kunaiki tanggak dengan cepat, dua anak tangga sekali langkah. Aku berhenti pada anak tangga terkahir saat mata kita saling bertatap sesaat. Seorang pria memeluk sambil menyebut pelan namamu.

Matamu sayu, bibirmu yang biru memaksakan senyum. Lalu, terpejam yang aku kira hanya lelah. Aku dengar pria itu menangis—mengguncang tubuhmu pelan. Aku melihat cairan pembasmi serangga dan gelas berwarna cokelat di bawah tempat tidurmu.

Pria itu melewatiku begitu saja sambil menggendongmu menuju mobil. Tidak tergambarkan bagaimana kecemasan yang terpancar dari wajah pria itu.

Aku duduk di sisi tempat tidurmu, ketika suara mobil menghilang dengan cepat. Ada yang mengganjal ketika kepalaku merebah. Kutarik dari bawah bantal, sebuah buku doa bergambar wajahku dan bertuliskan 31 Desember 1982 - 24 Agustus 2020.




Komentar