Rasa itu
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Bergegas aku membukanya, karena takut akan mengganggu penghuni yang lain. Pintu baru setengah terbuka, tetapi dia sudah memaksa masuk. Nyaris menabrakku. Wajahnya lesu tidak seceria dari biasanya. Aku memberikannya segelas air, mungkin bisa membuatnya sedikit lebih tenang. Dia hanya menggenggam gelas itu, lalu beranjak menuju balkon yang ada di kamarku. Aku mengikutinya tanpa bertanya. Langit malam ini mendung, semendung perasaannya.
Dengan setia aku duduk di sampingnya. Perlahan kepalanya mulai bersandar di bahuku. Pipiku menyentuh rambutnya. Isaknya mulai terdengar perlahan sangat pelan. Dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya. Ku rengkuh pundaknya agar semakin erat. Isak berubah menjadi tangis. Rengkuhan menajdi pelukan. Perasaan aneh menggeliat liar di dalam sini. Semakin deras tangisnya semakin erat aku mendekapnya.
Aku berharap bisa lebih lama dalam posisi ini. Kesedihannya membuatku hancur. Tetapi aku tidak ingin dia mengetahui apa yang sesungguhnya aku rasakan. Aku mencintai dia dalam diam, dibalik kata persahabatan.
Setelah tangisnya reda, perlahan ku lepaskan pelukanku. Dia mulai bercerita tentang pertemuan terakhirnya dengan Diorama. Dia begitu sedih atas keputusan Diorama yang mengakhiri hubungan mereka. Walau sesungguhnya ia sangat mengerti risiko atas hubungan tersebut.
Aku mendengarkan tanpa menjeda. Dia kembali menangis, aku pun kembali mendekap tubuhnya. Ada perasaan nyaman saat mendekap tubuh Senja.
Namaya Senja Anjani, wanita tangguh dengan sikap yang lembut. Kami bertemu pada kegiatan opentrip sebuah pendakian. Kebetulan peserta wanitanya hanya dua, aku dan Senja.
Komentar
Posting Komentar