Penyeduh Kopi (1)
Pagi ini langit terlihat sendu. Matahari memilih bersembunyi di balik awan. Sama seperti suasana hatinya yang kelabu karena kejadian kemarin sore. Senja bergegas meninggalkan penginapan mencari tempat sarapan baru. Berharap keadaan hatinya akan kembali normal.
Sambil bersenandung dengan suara lantang, Senja menyusuri jalan yang hanya muat untuk dua sepeda motor bersisian. Sesekali kakinya mempermainkan batu, seperti bola. Ia mengambil aba-aba—mundur beberapa langkah, lalu....
"Pletak"
Sebuah batu kecil mendarat di kepalanya bersamaan dengan sebuah sepeda motor berwarna merah melaju kencang.
"Woyyyy! Pelan-pelan!" Senja berteriak kepada pengendara motor itu. Mengusap kepalanya sambil mengegrutu.
Tidak lama kemudian, ia memasuki kedai yang pertama dijumpainya dalam perjalanan itu. Bangunannya dari kayu berwarna cokelat tua dan muda dengan jendela-jendela besar yang dibuka lebar. Tidak hanya dinding bangunan yang terbuat dari kayu, tetapi lantai, kursi, dan ornamen-ornamen juga menggunakan kayu.
Kedai tidak terlalu ramai saat itu. Hanya ada beberapa pengunjung. Sepasang muda-mudi duduk di pojokan kedai. Bapak paruh baya dengan kaca mata hitam sedang asyik membaca koran duduk di tengah ruangan. Dua orang pemuda sibuk dengan gawainya duduk di meja bar. Sedangkan ia sendiri memilih duduk di sudut dekat jendela yang terbuka lebar.
Pegawai kedai mengahmpiri Senja dengan buku menu di tangannya. Laki-laki berumur duapuluhan awal tersenyum. Ia menyodorkan buku menu tanpa bersuara. Kedai Kayu, tulisan di sampul buku itu.
Senja melihat-lihat menu di dalamnya. Pegawai kedai masih berdiri dalam posisi siap. Setelah membolak-balik beberapa kali, akhirnya ada satu daftar nama yang menarik minatnya. Tanpa pikir panjang ia memesannya.
"Saya pesan menu istimewa," katanya, sambil tersenyum ramah.
Pegawai kedai memperhatikan bibir Senja sambil mencatat, lalu mengangguk hormat sebelum meninggaklannya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar