Tertunda (1)

Aku berpapasan dengan Diorama di lorong toilet. Ia terlihat lebih segar. Tidak menyangka akan bertemu dengannya secepat ini. Harusnya ia masih cuti tiga hari ke depan. 

"Bagaimana keadaanmu? 
"Baik, Pak." Sambil berlari memasuki toilet aku menjawab pertanyaannya.

Saat aku keluar toilet, Diorama masih berada di tempatnya tadi. Kedua tangnnya berada dalam saku celana, kepalanya menunduk, dan berjalan bolak-balik dengan langkah kecil.

"Kenapa masih di sini, Pak?" Aku menanyakannya sambil berlalu pergi. 

Langkahku terhenti. Diorama menggapai tanganku dan menarik ke arahnya. Kami berdiri berhadapan. Ia masih menunduk, dan mulutnya terbuka seperti hendak berbicara.

Dengan cepat ia melepaskan tangannku. Seseorang muncul dan berjalan ke arah kami.

"Nanti temui saya di ruangan," katanya sambil berlalu pergi.

Aku menganguk walau ia tidak melihatnya, dan kembali ke ruangan untuk meneruskan pekerjaan yang menumpuk.

Dering telepon membuyarkan konsentrasiku.
"Kamu tadi saya suruh apa?" Suara di seberang sana terdengar kesal lalu menutup telepon sebelum aku berkata apa-apa.

Aku melihat jam di ponsel, sudah hampir waktu pulang kerja. Kenapa dia kesal, kan nggak bilang aku harus ke ruangannya jam berapa.

Aku mengetuk pintu yang tidak tertutup. Melangkah masuk dengan hati-hati. Takut kena semprot, walau aku tidak merasa berasalah.

"Ada apa ya, Pak?" 

"Pekerjaanmu masih banyak? Ada yang ingin saya bicarakan tapi tidak di kantor." Kata-katanya terdengar dingin.

"Bapak mau ngebahas apa sama saya? Kenapa nggak sekarang aja  di sini" tanyaku penasaran.

"Kamu nyimak kata-kata saya tidak? Saya akan tunggu kamu sampai pekerjaan kamu selesai"

"Tapi, Pak."

Ia memotong kata-kataku dengan isyarat agar aku segera meninggalkan ruangannya.

"Baik, Pak." 

Bersambung....

Komentar