Penyeduh Kopi (3)

Ia beranjak dengan mata merah dan gemuruh di dada yang  tertahan menuju meja kasir. Pegawai kedai memberikan tagihan. Senja semakin murka melihat angka yang tertera di tagihan tersebut.

"Saya mau bertemu dengan pemilik kedai."
Pegawai kedai diam, tapi matanya penuh gelisah.

"Saya mau bertemu dengan pemilik kedai sekarang!" Suaranya mengeras
Pegawai kedai masih diam. Dengan mata gelisah ia memperhatikan bibir lawan bicaranya.

"Saya mau bertemu pemilik kedai sekarang!" Senja berteriak kepada pegawai di hadapannya.

Pengunjung kedai lainnya terkejut, tapi beriskap biasa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pria berseragam dekat mesin kopi mengahampiri Senja dan pegawai kedai. Pria itu memegang tangan pegawai kedai, dengan lambat ia berkata, "Tidak apa-apa, kamu ke sana saja dulu." Pria itu menunjuk mesin kopi. Seperti biasa, pegawai kedai memperhatikan bibir yang berbicara lalu melesat dengan cepat.

"Anda pemilik kedai ini?" tanya Senja pada pria berseragam itu.

"Saya penyeduh kopi, Bu,"

"Saya ingin bertemu pemilik kedai, kenapa anda yang datang?"

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Dengan sabar dan nada lembut pria itu menghadapi amarah Senja.

"Kalo ngasih harga yang bener dong mas. Nyari untung yang wajar. Masa kopi tubruk aja seratus ribu. Lagiankan, yang saya pesen tadi itu menu istimewa. Kok yang datang kayak begituan." 

"Iya, benar ibu, itu harga untuk menu istimewa. Dan yang dihidangkan memang menu istimewa."

"Apa yang istimewa dari minuman itu? Saya tidak mau bayar." Senja menahan ingatan-ingatan istimewa yang mulai bermunculan di kepalanya.

"Hanya ibu yang tau apa istimewanya dari hidangan yang kami sajikan. Ibu tetap harus bayar." Pria itu masih berkata dengan lembut.

"Satu lagi. Siapa yang punya motor merah di bawah pohon itu? Untung kepala saya nggak bocor karena batu yang mental waktu motor itu lewat."

Senja tidak melihat pria itu melirik ke arah mesin kopi. Ia sibuk merogoh kantung celananya sambil marah-marah.

"Nyesel saya datang ke sini," katanya lagi.

Selain amarah, kini ia dilanda panik. Ia tidak membawa uang sepeser pun, karena terburu-buru meninggalkan penginapan.

"Saya lupa bawang uang. Saya menginap di...." 

"Samudra Cottage, kamar 608." Pria itu memotong kata-kata Senja.

Senja melotot. Menatap pria itu heran.

"Ibu yang kemarin sore pingsan di taman waktu dipeluk anak kecil, kan?"

Senja pergi tanpa sepatak kata pun. Suasana hatinya semakin kelabu, dadanya bergemuruh, air mata turun tanpa bisa dibendung lagi.

Komentar