Tertunda (2)

Aku tidak melihat ada orang di ruangannya, tapi lampu dan monitor masih menyala. Apa mungkin Senja sudah pulang? Kenapa ia tidak memberitahu? Aku mengambil ponsel dan menekan namanya. 

Ponsel milik Senja berdering di atas meja dekat keyboard. Mataku menelusuri ruangannya. Sayup terdengar dengkuran halus dan teratur. Suara itu berasal dari ruangan berkas dan menemukan Senja tertidur di atas tumpukan kertas dengan mulut sedikit terbuka, mata yang tidak sepenuhnya terperjam—bagian putih matana yang terlihat. Kedua tangannya menopang kepala.

Aku mengernyitkan dahi. Bisa-bisanya ia tidur dan membuatku menunggu lama. Aku urungkan membangunkannya. Kutarik kembali tangan yang hampir menyentuh bahunya. Aku duduk di kursi di depan meja, menunggu sampai ia bangun.

Aku memandanginya dengan leluasa tanpa harus berpura-pura tidak peduli. Menatapnya lekat dan semakin dekat.

Tiba-tiba matanya melotot. Tangannya menyingkirkan mukaku dengan kasar. 

"Bapak, mau mesum ya sama saya?" Ia terlihat panik. Mundur menabrak rak berkas. Sebuah file jatuh menimpanya. Ia meringis kesakitan. 

Aku menggeleng. Beranjak ingin membantunya.

"Stop! Nggak usah deket-deket," katanya, sambil mengusap kepala yang tertimpa file.

Aku kembali duduk. Membiarkannya menenangkan diri. Ia kaget akan keberadaanku dengan jarak yang sangat dekat.

"Kamu bukannya kerja malah tidur," kataku cuek, seperti tidak terjadi apa-apa.

"Beresin berkasnya! Nanti kemaleman. Saya antar kamu pulang."

"Nggak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri."

"Kamu takut sama saya?"

Ia mengangguk ragu. 

Aku tertawa sambil berlalu. Memasukan kotak hitam yang sempat kukeluarkan.

Bersambung...

Komentar