Cerita

Aku rebah dalam pangkuan Cakrawala. Menikmati dinginnya ibu kota, dari atas balkon kos-kosan khusus perempuan.

"Sepertinya aku membutuhkan seorang psikolog," seruku tanpa kata pembuka.

Cakrawala hanya diam. Sedari tadi mulutnya terus menghembuskan asap rokok. Ia tidak mendengar ucapanku atau ia sedang mencerna apa yang aku katakan tadi.

"Hey ... Kamu mendengar ucapanku, tidak?" Aku menarik rokok dari mulutnya, melemparkan jauh-jauh.

"Jangan buang sampah sembarangan!" Matanya melotot ke arahku.

Aku menghembuskan napas panjang, bersamaan kutarik selimut agar menutupi seluruh tubuhku.

"Aku membutuhkan psikolog," kataku lagi dari balik selimut.

"Kamu sudah dua kali bilang itu. Kalo kamu butuh, pergi saja. Tidak perlu merengek seperti anak kecil."

"Kenapa kamu menyebalkan kali ini?" Aku meninggalkannya ke dalam, mengambil dua kaleng minuman dingin.

Kami duduk bersisian. Lalu, aku kembali rebah seperti tidak punya tulang.

Cakrawala mulai geram terhadap sikapku. Ia memintaku duduk dengan benar. Menatap tajam ke dalam mataku, seolah berkata ceritakan.

"Seseorang, nyaris membuatku gila!"

"Diorama?"

Aku menggeleng. Menuangkan isi minuman kaleng ke dalam gelas dan kembali ke dalam kaleng.

"Ayolah, lama-lama aku yang gila berhadapan denganmu."

"Namanya Lintang. Atasan baru di tempat aku bekerja. Orangnya membingungkan. Seperti jalangkung. Muncul dan pergi secara tiba-tiba."

Cakrawala tertawa mendengar ceritaku,  "Lalu, apa yang membuatmu ingin ke psikolog?" katanya disisa tawanya.

"Aku kasihan kepada jiwaku. Aku takut jiwaku sakit menghadapi orang seperti itu. Paling tidak, jika aku ke psikolog, aku tahu bagaimana cara jiwaku menghadapi seorang Lintang."

Komentar