Pria di Sudut Ruangan itu
Ponselku berbunyi saat aku masih merasa kesal. Aku meliriknya sesaat, lalu membiarkannya terus berdering. Diorama, nama yang muncul pada layar.
Sebuah pesan masuk, tidak lama setelah ponselku lelah berdering. Pesan dari Diorama, yang menanyakan kenapa aku tidak mengangkat teleponnya dan juga memintaku untuk menemuinya di kedai kopi langganan kami pukul dua siang, esok hari.
Pesan dari Diorama tidak membuat perasaanku semakin membaik. Setelah kejadian yang menyebalkan dengan atasan baru itu.
Aku mengetik pesan dengan kesal, ingin menjawab tidak tapi kata, ya, yang terkirim.
Aku panik! Menjatuhkan ponselku begitu saja. Dengan perasaan campur aduk, aku kembali mengambil ponsel yang tergeletak di lantai. Bodoh! Pikirku. Padahal, aku belum siap bertemu dengannya lagi, setelah perdebatan beberapa minggu lalu.
***
Di luar hujan sangat deras. Aku sengaja memilih tempat di sudut kedai. Tempat yang lebih hangat karena ruangan itu dikelilingi oleh kaca, dan mempunyai akses pintu yang tertutup rapat.
Hanya ada empat pasang bangku di ruangan itu. Dan satu buah standing AC yang suhunya 20°C. Aku melihat jam di tanganku. Lalu, kembali melihat pohon-pohon yang bergoyang karena diterpa angin dan air yang kencang.
Aku melihat dari belakang, seorang pria dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru masuk ke dalam ruangan. Tingginya kira-kira 185cm. Ia duduk di ujung ruangan dekat dengan AC.
Aku memperhatikannya lekat, seperti mengenalinya. Dadaku berdegup kencang. Aku segera menutup wajahku dengan buku, sebelum ia melihat ke arahku.
Dengan cemas aku kembali melihat ponsel. Mungkin ada kabar dari Diorama. Sudah satu jam aku menunggu, tetapi, belum ada tanda-tanda kehadirannya.
Kuturunkan sedikit buku dari wajahku mengintip pria di sudut ruangan. Ia masih menghadap ke arah jendela, menikmati hujan dan pohon yang yang beradu.
Pintu ruangan terbuka, dengan cepat kututup kembali wajahku.
"Segelas cokelat panas." Kata petugas kedai ramah.
"Terima kasih," ucapku, tanpa memalingkan buku dari wajah.
Seseorang duduk di hadapanku. Mengambil buku yang menutupi wajahku. Dengan cepat kedua tanganku menutup wajahku sambil menunduk.
Ia memegang tanganku, berusaha melepaskannya dari wajahku.
"Senja, ada apa?"
Perlahan aku menurunkan tangan dari wajahku. Aku mengenali suaranya.
"Diorama?" Aku tersenyum canggung. Melirik ke arah pria yang masih asyik dengan pemandangan di luar ruangan.
"Bisa kita pindah?" kataku dengan suara pelan.
Diorama mengangguk. Aku mendahuluinya dengan terburu-buru. Kepalaku terantuk, saat pintu di hadapanku terbuka.
Mata kami bertemu. Ketika aku kembali melirik pria dengan baju kotak-kotak di sudut ruangan. Aku segera berlalu, meninggalkan Diorama yang keheranan di belakangku.
Komentar
Posting Komentar