Pertemuan
Di luar hujan sangat deras. Tetesannya menerpa kaca jendela, membuat suasana semakin romantis. Tetapi tidak bagi pria yang duduk di sudut kedai.
Ia terlihat gusar. Sedari tadi kakinya bergerak-gerak kecil. Tangannya mengetuk-ngetuk pelan, menimbulkan irama yang tak beraturan.
"Senja, kamu mau pesan apa?" Sentuhannya mengagetkanku. Aku terlalu fokus pada pria di sudut kedai.
"Seperti yang biasa kamu pesankan," jawabku tanpa memalingkan wajah.
Diorama memanggil pegawai kedai. Ia memesan satu gelas cokelat panas dan satu cangkir kopi Arabica tanpa gula.
Pikiranku bercabang. Dengan Diorama dan pria di sudut kedai. Pria itu adalah Lintang. Aku tidak pernah melihatnya segusar itu.
Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku. Membuatku mengabaikan Diorama yang duduk di hadapanku. Sesekali aku melirik Diorama, ia masih sibuk dengan ponselnya.
"Ada apa dengan pria itu?" Pertanyaan Diorama membuatku terkejut. Wajahnya sangat dekat denganku.
Aku menggeleng. Memberikan senyum termanisku. Memamerkan barisan gigiku yang rapi.
"Wajahmu jelek sekali malam ini," kataku. Mengalihkan pertanyaannya tadi.
Pesanan kami datang. Aku segera menyesap minuman yang ada di hadapanku. Aku memekik pelan, menjulurkan lidah yang kepanasan karena minuman itu. Kepalaku menunduk, mengipasi agar panasnya segera hilang.
"Makanya, sabar sedikit. Wajahmu lebih jelek dari aku." Diorama mentertawakan tingkahku, yang seperti anak kecil.
Tawa Diorama terhenti seketika. Aku menengadah, masih dengan lidah menjulur. Pria itu ada di hadapan kami. Dengan sekejap, lidahku masuk tanpa perintah. Digantikan dengan mataku yang nyaris keluar.
"Hai, Lintang. Sini gabung dengan kami." Diorama berdiri, menyalami Lintang dan mempersilakannya duduk.
Lintang hanya tersenyum, lalu duduk di antara aku dan Diorama.
"Kamu kenapa?" tanya Lintang kepadaku.
"Biasa. Dia memang suka seperti itu. Tidak sabaran." Diorama memberi jawaban pada lintang, sambil mengacak-acak rambutku.
Aku cemberut manja, atas keterangan yang diberikan Diorama kepada Lintang.
"Tuh, lihat saja kelakuannya. Seperti anak kecil," tambahnya lagi.
Lintang hanya tersenyum kecil. Mungkin dipaksakan. Matanya masih menyimpan kegusaran. Ada duka yang tersirat dalam wajahnya.
Diorama berpamitan, tidak lama setelah menerima telepon. Ia membelai kepalaku dan bersalaman pada Lintang.
Kini, tinggal kami berdua yang tersisa. Dua manusia yang dilanda kegusaran.
"Aku antar kamu pulang."
Aku berdiri, berjalan mengikuti dari belakang.
Komentar
Posting Komentar