Pagi yang Geram
Hari yang bahagia di awali dengan pagi yang cerah. Tidak bangun kesiangan, tidak ada kemacetan yang berarti, dan tidak berlari-lari menuju mesin absen.
Aku bersiul ringan mengikuti irama lagu yang kudengar melalui headset. Di hadapanku terdapat semangkuk sereal cokelat bercampur susu putih dingin yang siap dinikmati. Sempurnanya pagi ini, batinku.
Aku mengencangkan suara musik. Memakan serealku perlahan-lahan, seraya mengecek kembali laporan yang akan dikirim kepada Lintang sebelum makan siang nanti.
Tiba-tiba musik di headsetku mati. Aku nyaris menjerit. Sendok yang berisi sereal pun jatuh. Membuat meja kerjaku basah dan lengket. Suapan terakhir, dan yang paling nikmat. Aku hanya membatin tanpa bisa berkata-kata.
Tanpa ekspresi, Lintang berada di hadapanku. Membuatku terkejut dan memorak-morandakan pagiku yang nyaris sempurna.
"Saya belum terima email laporan dari kamu."
"Saya memang belum kirim, Pak. Sedang saya cek," kataku sambil membersihkan meja yang berantakan.
"Harusnya kamu sudah kirim hari ini."
"Iya, Pak. Tapi, kemarin saya janji kirim ke bapak sebelum makan siang. Sekarang baru jam sembilan." Aku melirik jam, memastikan tidak ada kesalahan.
"Sebelum makan siang, kan? Sekarang, sudah waktunya makan siang atau belum?" ucapnya tegas.
"Belum, Pak." Kepalaku mengangguk. Tidak sesuai dengan kata-kata yang keluar dari mulutku.
"Sudah atau belum? Jawab belum kok ngangguk," katanya dengan nada melecehkan.
Aku melirik ke arah Seruni. Wajahnya lurus menatap monitor. Seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa.
"Seruni, saya permisi dulu." Ia menatapku tajam, sesaat sebelum meninggalkan ruangan.
"Iya, Pak." Seruni menjawab tergagap.
Kusandarkan tubuh ke sandaran kursi sambil menghirup napas dalam-dalam. Sejenak beristirahat dari ketegangan terjadi. Baru beberapa kali tarikan napas, teleponku berbunyi nyaring.
Belum sempat berkata halo, suara di seberang sana sudah memburu tanpa henti.
"Baik, Pak. Saya kirim sekarang. Saat ini juga."
Dari jarak yang tidak terlalu jauh. Seruni menatapku iba. Ia berkata sabar tanpa bersuara.
Komentar
Posting Komentar