Temu

Aku memegangi dahi yang berdarah. Masih menunduk. Hanya berpindah tempat duduk. Diorama datang dengan alkohol dan plester di tangannya.

"Kalau jalan hati-hati. Hari ini kamu aneh sekali," ucapnya sambil menempelkan plester di dahiku.

"Terima kasih," kataku singkat.

Ia menarik tanganku, saat hendak meninggalkan meja.

"Kita di sini saja." Tatapannya menyuruhku untuk kembali duduk.

Aku duduk dengan patuh, masih sedikit menunduk.

"Ada apa?" katanya lagi.

Ia menyodorkan segelas cokelat panas di hadapanku. Dan menyesap kopi arabica tanpa gula kesukaannya.

"Kemana saja? Kenapa tidak ada kabar selama ini? Maaf tentang perdebatan kita waktu itu."

Aku diam tidak memberi jawaban.

"Aku tidak ingin bertengkar," tambahnya lagi.

Aku hanya mengangkat bahu, sebagai respon dari kata-katanya.
Mataku menjelajah tiap sudut kedai. Memperhatikan orang-orang yang datang berkunjung. Terlebih, pria dengan baju kotak-kotak yang masih di sudut lain kedai ini.

Diorama memandangiku lekat. Mencoba meraih tanganku. Aku menghindar, menarik tangan dari atas meja.

"Bisa kita bicara serius?" Nada suaranya terdengar geram.

"Bicara saja," kataku acuh, sambil membuka buku yang tadi kubawa.

"Aku minta maaf atas kata-kataku waktu itu. Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung. Atau menyakiti perasaanmu."

Ia melihatku lekat seperti tanpa sekat. Matanya merah menahan marah. Dengan kasar ia kembali menyesap kopi yang tinggal setengah.

"Kamu tidak perlu lagi mengatur hidupku. Karena menurutmu, kita bukan siapa-siapa." Kataku perlahan seperti berbisik.

Aku memalingkan wajah menahan tangis. Pria dengan baju kotak-kotak berjalan dengan santainya melewati tempat aku dan Diorama berada.

Komentar