Malam yang Geram

Beberapa menit lalu, hujan mulai reda. Aku dan banyak orang lainnya kembali berjajar memenuhi trotoar jalan. Menunggu ojek online yang telah dipesan  datang menjemput.

Hari semakin larut, tetapi jalanan tidak juga lengang. Mataku sibuk mencari dan mencocokan plat motor dengan data yang ada di ponsel.

Sebuah motor menghampiriku, ketika mataku masih sibuk mencari. Kulihat plat motornya tidak sama dengan aplikasi. Aku melangkah mundur, memberi ruang untuk orang lain.

Orang itu berteriak, menyuruhku naik ke motornya. Aku menggeleng, kembali melangkah mundur. Menjauhi pengendara motor tersebut.

Aku berlari-lari kecil, menuju ojek yang sudah aku pesan tadi. Pengendara motor itu turun, membuka helm yang dipakai. Ia berjalan mengikutiku dengan langkah sangat cepat, mendahului, menuju ojek pesananku.

Ketika aku sampai, ojek pergi begitu saja. Aku berteriak memanggil kembali. Pria itu masih memakai masker yang menutupi wajahnya.

"Ikut saya. Saya antar kamu pulang."

Aku menggeleng, tidak peduli ajakannya. Mengambil ponsel dalam tas. Dan kembali memesan ojek.

Ponselku dirampas. Aku nyaris berteriak. Mulutku baru terbuka setengah. Dengan cepat ia membuka masker yang menutupi wajahnya.

Mataku melotot, hampir lompat dari tempatnya. Aku bergegas meninggalkannya, tetapi tidak bisa. Tangannya sangat cekatan menghentikan langkahku.

"Saya antar kamu pulang. Ini sudah terlalu larut. Tidak baik untuk keselamatanmu." Ia menggandengku menuju motornya.

"Terima kasih, Pak. Tidak usah. Saya sudah biasa seperti ini," kataku ketus.

"Ini perintah!" Wajahnya mengeras seperti nada suaranya.

"Tapi, ini bukan lagi jam kantor, Pak." Aku merasakan panas di wajah, perlahan menjalar menuju mata.

Ia tidak perduli. Masih menggandeng tanganku. Aku menunduk, menahan air yang perlahan keluar dari mataku.

Aku masih menunduk, tidak bergeming. Ketika ia memberikan helm.

"Saya cuma ingin antar kamu pulang," katanya sambil memakaikan helm di kepalaku.

                         ***

"Terima kasih, Pak." Aku melompat dengan cepat dari motornya. Tanganku sibuk, berusaha membuka pengait helm.

"Besok saya jemput. Kita ke kantor bareng." Ia membantu melepas helm dari kepalaku.

"Ini perintah. Tapi, tidak pakai nangis."
Ia berlalu tanpa meninggalkan senyum.


Komentar