Pendakian Rinjani (Part 1)
Ini hari ke dua belas saya menulis, dan belum ada bolongnya. Mungkin karena tuntutan dalam komunitas 30DWC. Tapi, ide saya sudah makin menipis. Saya harus memutar otak agar tetap bisa menulis tepat waktu.
Kisah ini terjadi pada tahun 2014. Tepatnya Mei 2014. Saya dan empat orang yang baru dikenal bergabung dalam pendakian gunung Rinjani.
Itu semua berawal pada tahun 2013, saya membeli tiket ke Lombok untuk tahun 2014. Saya membeli tiket satu tahun sebelum keberangkatan, agar mendapat tiket dengan harga murah.
Setelah tiket di tangan. Saya kembali berpikir, tidak mungkin saya mendaki sendirian. Apalagi di gunung tersebut merupakan gunung berapi tertinggi kedua setelah Kerinci. Gunung yang memiliki ketinggian 3.726 mdpl.
Lalu, saya mencari info tentang open trip ke gunung Rinjani. Harga mereka sangat mahal, rasanya sayang untuk kembali merogoh kocek lebih dalam lagi. Bagaimana tidak mahal, selama pendakian kita tidak perlu repot untuk membawa dan menyiapkan peralatan. Kita hanya membawa perlengkapan pribadi.
Lagi-lagi saya kembali memutar otak. Saya mencoba untuk menyebarkan info di twitter dengan hastag "SHARE COST RINJANI". Respon pun sangat cepat, dan saya menemukan mereka yang akan mendaki di tanggal yang sama.
Saya dan empat orang yang baru kenal, nekat mendaki Rinjani. Menaklukan puncak Anjani. Dengan persiapan fisik dan mental kami memulai perjalanan. Lima anak manusia, tiga pria dan dua wanita.
Kami memulai pada Minggu pagi melalui jalur Sembalun. Dengan masing-masing tas carier seberat 10–20kg. Kami para wanita hanya membawa peralatan pribadi, lima liter air, dan sayur-sayuran.
Dalam perjalanan ini, saya baru mengerti artinya PHP. Bagaimana tidak, saat melihat petunjuk arah pos 1, saya kira sebentar lagi akan sampai. Tapi ternyata tidak. Perjalanan masih sangat jauh. Berbeda dengan gunung-gunung lain yang pernah saya daki. Jika sudah ada tanda, makan tidak lama lagi akan sampai pada pos.
Katanya tujuan mendaki adalah pulang dengan selamat. Tapi, puncak tidak boleh terlewat, kan? Kami menyebutnya summit, perjalanan menuju puncak gunung.
Bangun pada jam dua belas, mengisi perbekalan secukupnya dan bersiap-siap menuju puncak. Gunung tidaklah menyeramkan seperti yang kita bayangkan. Karena kita tidak sendirian. Ratusan orang dengan tujuan yang sama dan di tempat yang sama. Hampir seperti pasar malam. Gaduh dan riuh. Bedanya, tidak ada lampu yang gemerlap.
Mendaki pada dini hari itu sangat melelahkan. Kamu akan diberikan dua pilihan yang sulit. Diam atau bergerak. Jika diam kamu akan mati kedinginan, dan jika bergerak kamu akan sangat lelah karena kita akan rebutan oksigen dengan pohon.
Perjalanan menuju puncak Rinjani tidaklah mudah, walau tidak securam puncak Semeru. Tahap pertama kita disuguhkan jalur berpasir dan angin kencang. Saya nyaris menyerah, meminta untuk ditinggalkan di balik batu besar.
Tapi, teman saya menolak permintaan saya. Ia hanya bilang, "Istirahat saja dulu, sampai kamu siap untuk melangkah lagi." Ada perasaan haru dan tidak enak saat itu. Saya berpikir, tidak boleh egois. Kami memulai bersama dan pulang juga bersama.
Setelah jalur berpasir, kami kembali diberikan jalanan berkerikil. Jalur ini sama sulitnya dengan pasir. Akan selalu merosot sedikit tiap kali menanjak. Bagi yang tidak siap, summit merupakan bagian terberat dalam setiap pendakian.
Langkah saya semakin berat, mata sulit untuk dibuka. Ingin sekali tidur saat itu. Saya berhenti dan sempat tertidur ketika sedang beristirahat. Sesungguhnya kita tidak boleh tertidur dalam kondisi seperti itu. Karena bisa terkena hipotermi.
Teman saya cemas kala itu, Ia berinisiatif mengikat tangan saya dengan tali webbing satu sisi yang terhubung dengan tangannya di sisi lainnya.
Setelah jalur kerikil, tanjakan semakin curam. Bebatuan semakin besar. Di jalur tersebut sangat lengkap, ada pasir, kerikil dan batu-batu besar. Saat kamu tidak kuat berjalan tegak, maka kamu akan merangkak. Dan itulah yang terjadi pada saya. Saya mulai merangkak, sesekali pasir masuk ke mulut. Dari atas bebatuan jatuh, bekas pijakan orang lain.
Saya masih di pertengahan jalan. Kira-kira pukul empat pagi. Matahari mulai menampakan dirinya. Semburat jingga tampak malu-malu. Saya lupa pada lelah, saya lupa pada puncak. Saya hanya menikmati keindahan yang tersaji di hadapan saya.
Saya melihat ke sekeliling, semua orang berhenti dari kegiatannya. Mereka sama seperti saya, menikmati fajar yang tidak pernah ditemukan di kota. Semua berdecak kagum, lalu, sibuk mengabadikan peristiwa tersebut.
Komentar
Posting Komentar