Buku Catatan Senja
Hari semakin larut. Hujan dan petir yang menggelegar, menemani perjalanku. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi, menuju rumah sakit.
Senja merintih kesakitan sambil memegang dada kirinya. Wajahnya pucat. Bibirnya mulai membiru. Lalu, tergolek lemah.
"Senja, tahan sebentar lagi. Kamu harus tetap sadar." Kugoncang bahunya dengan lembut. Ia membuka matanya sesaat, lalu kembali terpejam.
***
"Bapak, keluarga dari Ibu Senja? Bapak diminta ke ruangan dokter sekarang."
Aku mengikuti perawat rumah sakit, menuju sebuah ruangan.
"Selamat malam, Dokter. Bagaimana keadaan Senja?" Aku menjabat tangan Dokter, dengan serentet pertanyaan.
Dokter menjelaskan dengan rinci. Senja harus segera dioperasi. Ia mengidap penyakit jantung bawaan pulmonary stenosis. Atau sering disebut juga dengan penyempitan pada katup paru.
Penyakit tersebut membuat bilik kanan jantung bekerja lebih keras, untuk memompa darah ke paru. Biasanya terdeteksi ketika penderita sudah dewasa.
Tidak sengaja aku menemukan buku catatan milik Senja, saat mencari tanda pengenal dalam tasnya. Tertulis kata diorama pada sampul buku.
Kubuka perlahan dan membacanya dengan dada sedikit bergetar.
Diorama, aku menemukan harapan di dalam matamu. Keteduhan yang kucari selama ini, ada pada dirimu. Lelaki yang membuat mimpiku menjadi indah.
Kamu pria satu-satunya yang mebuatku percaya akan cinta. Pria yang meyakinkanku untuk terus melanjutkan hidup.
Diorama, aku tidak pernah mengetahui perasaanmu yang sesungguhnya terhadapku. Karena perubahan sikapmu yang tidak bisa kutebak.
Berjabat tangan denganmu adalah hal yang menyenangkan. Karena dengan cara itu, aku bisa menyentuhmu. Tetapi, ada hal yang paling aku inginkan. Aku ingin, kamu menggenggam tanganku dengan mesra. Tidak lebih dari itu.
Diorama, maaf, jika aku tidak pernah menatapmu saat kita akan berpisah. Itu karena aku takut. Takut kamu melihat kesedihan yang terpancar dari wajahku. Tapi aku berjanji. Suatu saat akan menatap matamu dan berkata sampai jumpa lagi.
Kututup buku catatan itu. Memandangi Senja, yang tergolek lemah di ruang ICU. Berbagai alat medis, tepasang di tubuhnya.
Kugenggam tangannya dengan mesra. Lalu berbisik padanya, "aku mengasihimu. Bertahanlah."
Aku teringat adikku, yang telah berpulang pada sang Pencipta. Wajahnya sangat mirip dengan Senja. Kutinggalkan ia bersama doa yang kupanjatkan.
Komentar
Posting Komentar