Takut
Aku berhasil menghindari kejaran anak kecil yang bermata tajam itu. Bersembunyi di balik pohon besar -- mengatur napas yang tidak beraturan.
Kuberanikan diri untuk mengintip. Anak itu masih di tempat yang sama, celingak-celinguk mencariku.
Sebentar lagi malam. Tidak mungkin aku berada di sini terus. Di balik pohon besar, di tengah hutan. Aku bingung dan semakin takut.
Aku terduduk. Memeluk kedua kakiku dengan kepala tertunduk. Tidak terasa air mataku menetes. Ketakutan yang teramat sangat menyerangku.
Terdengar kersak daun dalam hening. Langkah kaki semakin jelas kearahku. Kudekap kedua kakiku semakin erat dan makin erat.
Keringat mengucur deras dari setiap pori tubuhku. Sebuah sentuhan mengagetkanku. Aku berteriak dengan kepala masih menunduk.
"Senja... Senja..."
Cengkraman pada kedua bahuku, membuatku menengadah. Kulihat Diorama berjongkok di hadapanku.
Tangisku pecah. Memeluk erat tubuhnya. Melepaskan semua ketakutanku selama ini.
"Hey... Kenapa kamu di sini? Aku mencarimu, saat aku menyadari kamu tidak ada di perkemahan," tanyanya, sambil mengusap air mataku yang belum mau berhenti.
Aku tidak menjawabnya. Kembali mengeratkan pelukanku. Lalu aku kembali berteriak, lebih kencang dari sebelumnya.
Anak kecil bermata tajam itu, ada di hadapanku. Berdiri di belakang Diorama. Mendesak masuk ke dalam diriku.
"Diorama, anak kecil bermata tajam itu ada di belakangmu. Ia mencoba memasukiku," bisikku pelan, nyaris tak terdengar.
"Senja, kamu pasti bisa. Kamu bisa melawannya."
Dalam kesadaranku yang tersisa, aku masih mendengar suara Diorama. Dan merasakan genggaman tangannya.
Aku mencoba untuk bertahan. Kututup telingaku. Bersama dengan doa-doa yang tak henti dari mulutku.
Pertahananku nyaris jebol. Aku berteriak lebih dari sebelumnya.
"Diorama..."
***
Aku tebrangun oleh teriakanku sendiri. Beberapa telepon masuk dari Diorama, tidak terjawab.
Komentar
Posting Komentar