Merindu

Kupandangi wajah Diorama yang tampak lelah. Lingkar hitam matanya semakin nyata. Beberapa bulan terakhir ia sibuk dengan bisnisnya, yang baru ia rintis. 

"Mas, diminum dulu kopinya, mumpung masih hangat." Ia membelai kepalaku tanpa memalingkan wajahnya dari deretan angka di hadapannya. 

Aku duduk di hadapannya, menyandarkan kepalaku pada meja. Ingatanku melayang pada masa-masa itu. Masa di mana kami saling berbagi cerita, tawa dan pelukan. Ah... aku rindu pada Diorama yang dulu. 

Perlahan tanganku menjalar jahil, menekan-nekan tangannya yang sibuk mengetik. Ia mentatapku, meminta aku memahaminya. Membelai rambutku lalu mengecup kepalaku. 

Ponselnya bergetar, ia segera membalas pesan yang masuk. Aku melirik kearahnya. Terlihat nama Senja dalam ponsel. 

"Jaga kesehatan, Mas," ucapku seraya meninggalkannya.

Kulihat langit berwarna jingga, senja mulai menyapa bumi. Hatiku dipenuhi rindu dan pertanyaan tentang dia yang bernama Senja.

Perlahan hujan mulai turun, walau langit masih berwarna jingga. Aku berlari keluar, menikmati air yang turun menerpa tubuhku. Berlarian seperti anak kecil, membayangkan Diorama bersamaku melakukan ini.

Diorama melihatku dari beranda rumah. "Jangan lama-lama, nanti kamu sakit," teriaknya. Aku menghampirinya, lalu menariknya bersamaku menikmati senja dalam hujan. 

Kami berdansa dalam derasnya hujan. Saling memeluk dan berpagut. 
"Aku rindu kamu, Mas," ucapku, sambil mengeratkan pelukan.

"Siapa Senja?" tanyaku pelan tepat pada telinganya.

Ia hanya tersenyum, mengecup keningku dan mendekapku dengan mesra. 

Komentar