Kopi & Kenangan (Full)



Ketika aku sedang berjalan-jalan di sekitar penginapan, mataku tertuju pada satu kedai kopi berwarna oranye yang bertuliskan 'KOPI & KENANGAN'. Warna kedai sangat kontras dengan keadaan di sekitarnya.

"Selamat pagi," sapa pegawai dengan ramah , saat kumasuki kedai yang berbergaya kontemporer. Jendela-jendela besar di dalam kedai mebuat terasa lebih nyaman, ditambah salah satu sudut ruangan terdapat rak berisikan buku, dan pohon yang digantungi banyak kertas. Semakin membuatku mengagumi design interior kedai ini. Aku memilih sudut dekat dengan jendela, agar leluasa melihat keluar. 

"Cokelat panas," kataku pada pegawai kedai yang berdiri di hadapanku. 
"Dengan kenangan atau tidak?" tanyanya. 
"Iya," jawabku. Walau aku bingung dan penasaran dengan pertanyaannya.

Pelayan tadi datang dengan segelas cokelat panas dan selembar kertas kecil berwarna hitam berjudul Memory, serta 2 pulpen berwarna gold dan silver. Mataku teralihkan oleh pegawai kedai yang membawa satu nampan penuh berisi satu cangkir kosong, satu gelas air panas, dan 3 toples kecil kopi, gula dan krimer. 

"Kedai yang sangat aneh," pikirku.

Saat aku sedang membolak-balik kertas hitam itu, hidungku menangkap aroma yang sangat kukenal. Aroma kopi Arabica. Aku mencari aroma tersebut berasal, dan itu dari pria di seberang mejaku yang sedang meracik kopinya.

Kopi Arabica berasal dari Brasil, dan hidup di ketinggian lebih dari 700mdpl, dengan suhu 16-20°c. Kopi Arabica memiliki bentuk lebih lonjong, rasa lebih asam dan kadar kafein lebih rendah dari kopi robusta.

Aroma kopi arabica membawa ingatanku kepada Diorama. Kenangan bersamanya kembali muncul silih berganti, senyumannya memenuhi ingatanku. Aku mengutuki diri sendiri karena masih mengenangnya. Aku Menuju kasir agar tidak semakin terlarut dalam kenangan. 

"Potongan 50% dengan menukar kertas kenangan," kata kasir kepadaku. 

Aku menyerahkan selembar uang Rp 50.000 dan 'kertas kenangan'. Pegawai kedai membawa kertas kenanganku pada pria yang tadi meracik kopinya di seberang mejaku. "Diorama adalah ketidakmungkinan yang berubah menjadi semoga," kata pegawai kepada pria itu.
Pria itu mengangguk, lalu menggantungnya di pohon kenangan.
***

Aku kembali memasuki kedai 'KOPI & KENANGAN'. Memilih tempat yang sama, pesanan yang sama, ketika pertama kali berkunjung ke kedai ini. Mataku masih berkeliaran mencari sesuatu, ketika satu gelas cokelat panas di antar ke mejaku.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu? Sepertinya Ibu mencari sesuatu." Pegawai kedai menawarkan bantuannya. Aku menggeleng dan tersenyum kepadanya.

Pelan-pelan kucecap cokelat panas yang ada di hadapanku, kualihkan pandanganku ke luar jendela. Melihat kebun bunga seruni berbaris rapi. Aku teringat akan pria yang duduk di seberang mejaku, kala itu. Pria yang juga menyukai kopi arabica.  Pria yang di serahkan 'kertas kenangan' milikku.

Tiba-tiba hidungku mecium aroma yang sangat kukenali. Kuhirup lagi lebih dalam dengan mata tertutup, mencari sumber aroma tersebut. Aromanya berada di hadapanku, dan pria itu dengan segelas minuman di tangannya. Aku terkejut, dengan mata melotot dan teriakan yang tertahan.

Dia tertawa lepas, lalu berpindah dari sebelahku menuju kursi di hadapanku. Sedangkan aku masih menenangkan diri dari rasa kagetku.

"Kamu kaget ya?" Ia bertanya masih dengan tawanya. 

Aku hanya tersenyum kesal. Lalu ia bertanya kepadaku, apa yang aku cari. Ternyata dia memperhatikanku dari sudut ruangan yang lain. Aku tersipu. Kutinggalkan pria itu, masih dengan tawanya. Dan selembar uang lima puluh ribuan di atas meja.

Pria di kedai itu berlari mengejarku. Meminta maaf karena telah menertawaiku. Aku tidak menggubris omongannya, tetap berjalan menyusuri pematang sawah. Ia mengikutiku. Aku menoleh kepadanya dengan muka kurang bersahabat. Ia tersenyum, terlihat gigi gingsul yang menambah manis senyumannya.

Kami berhenti di pematang sawah. Ia mengajakku duduk di sampingnya.
"Seharusnya padi ini bisa dipanen semua beberapa hari lagi, tapi lihat sawah di hadapan kita. Padinya rusak, tidak bisa dipanen." Tangannya menunjuk pada bagian sawah yang rusak.  Aku hanya diam, tidak mengerti arah pembicaraannya.


Dia menoleh ke arahku, lalu menanyakan apa yang aku lakukan di desa ini. Aku hanya menarik napas panjang sebagai jawaban, lalu kami sama-sama terdiam. Dia kembali membuka mulutnya dan berkata "Kita hanya bisa memesan bir, tapi tidak dengan takdir". Aku kembali menoleh kepadanya dengan penuh kekaguman.

"Itu menurut bukunya Djenar yang aku baca." Senyum jahil memenuhi wajahnya.
"Tidak usah melihatku seperti itu," tukasnya lagi.

Aku tertawa mendengarnya. Aku kira itu dari kepalanya sendiri. Lalu dia berkata lagi dengan tenang, hidup hanya sekali dan kita tidak selalu diberi kesenangan, namun kita selalu diberi kesempatan untuk bersenang-senang.

Lagi-lagi aku dibuat tercengang oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia mengulurkan tangannya, membantuku berdiri, lalu kami berlari menikmati hari yang hampir gelap.

Dia berteriak kepadaku, "Apa yang kamu lakukan di kedaiku?" 

"Apa?" teriakku tidak kalah kencang. 

Kami memperlambat langkah agar tidak perlu lagi berteriak.

"Apa yang kamu cari di kedaiku?" 

"Tidak ada," jawabku sambil tersenyum malu. 

"Lalu kenapa kamu terkejut ketika melihatku ada di hadapanmu?" 

Dia kembali tertawa dengan kencang, dan berlari meninggalkanku di belakang.
Aku terpeleset, terperosok masuk ke dalam sawah, saat hendak mengejarnya. Dia menoleh, karena teriakanku sangat keras. Dengan tawa yang tertahan, dia membantuku keluar dari sawah yang berlumpur.

"Kamu tidak apa-apa?" Senyum tertahan tersirat dari wajahnya. 

Dengan semangat aku mengatakan tidak apa-apa. Walau dia tahu, kakiku sedikit sakit. Terlihat dari jalanku yang tertatih. Aku kembali tersandung, dan hampir terjatuh lagi. Dengan sigap dia memegangnya, agar tidak masuk ke dalam sawah.

"Kamu kenapa?" tanyanya sedikit khawatir. 

Aku menggeleng sambil tersenyum. Memperlihatkan gigi putihku yang berjajar rapi. Sejenak kami berhenti disebuah teratak untuk menikmati senja yang mulai turun. 

"Aku sangat menyukai senja," katanya. 

"Aku tidak." Jawabanku membuat ia bertanya-tanya.

"Karena senja adalah kesedihan. Ia mengembalikanku pada realita kehidupan. Seandainya ... " Kata-kataku terhenti. Aku berjalan melewatinya. Hujan mulai turun, walau senja masih berwarna jingga.

"Bisa pegangi aku?" pintaku seraya mengulurkan tangan. 

"Mataku sedikit rabun menjelang malam, ditambah hujan yang membuat jalan semakin licin."
***

Kami berjalan kembali menuju kedai. Kedai oranye bernama 'Kopi & Kenangan'. Segelas cokelat panas dan kopi arabica dengan sedikit gula telah tersedia di meja, ketika ia telah selesai membersihkan diri.

Ada perasaan sedih, saat ia mulai menghirup aroma kopi. Menuangkan ke dalam piring kecil, lalu mencecapnya dengan nikmat.

"Minum dengan cara seperti ini sangat nikmat," tukasnya. 

"Diorama tidak suka minum dengan cara seperti itu." Aku kelepasan menyebut nama Diorama.

Ia mengulang kembali kata diorama dengan pelan. Menatap tajam ke dalam mataku.
Aku mulai berbicara, mataku menerawang ke luar jendela. Di luar masih hujan, membuat aku semakin larut dengan pikiranku sendiri dan kenangan tentang Diorama.

"Seandainya, dahulu aku tidak pernah bertemu dengannya. Seandainya, dahulu aku tidak pernah menitip harap padanya. Seandainya, dahulu ia tidak memberikan harapan. Seandainya, dahulu …" 

Dia menyentuh tanganku, agar aku tidak terlarut pada seandainya.

"Tidak ada yang perlu disesali. Nikmati hidupmu, berdamai dengan masalalumu. Karena kelak bukan seandainya. Karena kelak bukan penyesalan. Karena kelak adalah harapan." Ia meyakinkanku dengan sentuhannya.

Aku pergi tanpa pamit, meninggalkan satu lembar uang lima puluh ribuan di bawah cangkir. Dan meninggalkannya tanpa bertanya siapa namanya. 

Komentar