Beti

Perkenalkan namaku Bejo. Seperti namaku, aku adalah orang yang paling beruntung di dunia. Keberuntungan dimulai sejak aku lahir.

Menurut cerita yang kudengar. Saat usiaku baru beberapa hari, terjadi perampokan di rumah. Ibu dan ayahku meninggal. Hanya aku satu-satunya orang yang selamat dari peristiwa tersebut.

Lalu, aku dibesarkan dalam sebuah panti. Panti yang sangat nyaman dan menyenangkan. Lagi-lagi aku merasa beruntung, karena tidak ada satu pun orang tua asuh yang memilihku menjadi anaknya. Aku masih bisa tinggal bersama pengurus dan teman-teman di panti sampai saat ini.

Kini usiaku tiga puluh lima tahun. Usia yang matang untuk membangun sebuah keluarga. Tapi, bagaimana membangun sebuah keluarga, jika calon istri saja aku tidak punya. Apakah aku masih bisa disebut beruntung? Pikirku dalam hati.

Padahal, tampangku tidak terlalu jelek. Tubuhku tinggi kurus, sedikit bungkuk. Rahangku tegas. Tulang pipi dan gigi sedikit menonjol. Bukan berarti jelek, kan?

Lamunanku terhenti, ketika dering ponselku berbunyi. Dengan enggan kuangkat telepon yang tidak bernama itu.

"Halo, dengan Bejo?" Terdengar suara pria di seberang sana

Aku mencoba mengingat orang di seberang sana dari suaranya.

"Halo, dengan Bejo?" katanya lagi dengan suara lebih keras.

"Hmm... Iya, Pak." kataku tergagap.

"Apa kamu yang menyelamatkan kucing hitam, yang nyaris tenggelam di kolam taman?" tanyanya lagi.

"Iya, Pak."

"Oke. Baik. Kalo gitu saya akan memberikanmu sebuah hadiah. Apakah kamu sudah menikah? Jika belum, saya akan menikahkan kamu dengan anak saya."

Aku terperanjat. Keberuntungan menghampiriku lagi. Aku berteriak kegirangan.

"Halo... Halo... Bejo."

"Ehh... Iya, Pak. Saya belum menikah."

"Oke kalo gitu. Kamu saya tunggu di alamat yang akan saya SMS-kan nanti."

Telepon terputus. Meninggalkan bunyi 'tut' yang panjang.

                             ***

"Saya Jebo, yang meneleponmu tadi siang."

"Bejo," kataku, sambil berjabat tangan.

"Putriku ada di sudut sana. Buka saja kain yang menutupinya."

Aku berjalan menuju tempat yang dimaksud bapak tersebut.
Perlahan kubuka kain yang menutupinya. Kuturunkan perlahan penutup dari bagian kepala.

"Aaaaaaaaaaaaaa..." Aku berteriak sangat kencang, tetapi tidak bisa berlari. Tanganku dipegangi oleh wanita itu.

Wanita yang wajahnya serupa denganku. Kukedipkan mataku berulang kali, berharap wajahnya berubah.
Kucubit-cubit lenganku sendiri, agar aku terbangun dari mimpi.

Tapi, tidak. Ini bukan mimpi. Ini nyata.

"Beti," katanya lembut.
"Bejo wati," tukasnya lagi.

Pandanganku berkunang-kunang. Tubuhku limbung.

"Cut!" Kudengar suara sutradara dan disusul tepukan yang gemuruh. Sebelum semuanya menjadi gelap dan sunyi.

Komentar