Hargaku Hanya Sepiring Nasi

Aku bersandar di sudut kamar. Tubuhku berpeluh. Peluh diriku dan pria yang tertidur karena kelelahan.

Dengan sisa-sisa tenaga, kuambil satu per satu pakaian yang terserak di lantai. Kulirik pria itu. Wajahnya tidak terlihat damai. Badannya kaku seperti orang mati.

Aku bergegas membersihkan diriku dari lenguh dan nikmat yang laknat.
Kupandangi diriku pada cermin di kamar mandi.

Terlihat wanita yang tidak lagi muda. Tidak lagi sesegar empat tahun yang lalu. Aku bahkan tidak ingat. Sudah berapa banyak peluh lelaki yang menempel di tubuhku.

Tubuh yang sangat aku banggakan dan aku jaga dari jamahan pria lain. Sampai pada saat peristiwa empat tahun lalu itu terjadi.

Kenangan itu kembali muncul. Tubuhku berpeluh karena ketakutan. Ketakutan dan nyeri yang masih terasa, walau sudah empat tahun berlalu.

Lamunanku terhenti. Gedoran pintu yang keras di susul teriakan pria paruh baya, "Apa yang kau lakukan di dalam sana, Wanita jalang?"

Tanganku berdarah. Cermin di kamar mandi retak. Pria itu terbangun karena suara yang kutimbulkan.

Pria beperut sedikit buncit itu sudah berdiri tegak di depan pintu. Ia memandangiku yang hanya berbalut handuk.

Aku menghindar ketika ia berusaha mencumbuku.

"Kau hanya membawa satu bungkus nasi untukku. Kau ingat peraturannya seperti apa?" Aku menjauhi dirinya yang masih mematung.

"Persetan dengan aturanmu."

Ia memaksaku dengan kasar. Kembali melucuti handuk yang menempel. Tenaganya sangat kuat. Percuma untuk melawan. Aku hanya bisa pasrah sampai dia kembali rebah lalu tertidur seperti orang mati.

                          ***

Pria buta di hadapanku memakan makanan yang kubawa dengan sangat lahap.

"Tumben kamu tidak hanya membawa nasi. Kali ini ada lauk yang menemani. Rasanya seperti meletus ketika kugigit," ucapnya dengan mulut yang masih penuh.

"Iya, itu mata pria paruh baya berperut sedikit buncit."

"Dasar Jalang." Ia memuntahkan makanan yang belum sempat tertelan.

Komentar