Iri

Sebuah ketukan di meja membuyarkan lamunan. Diorama tepat berada di hadapnku.

"Sejak kapan kamu di situ, Pak?"

"Diorama," katanya sambil menoleh sekeliling.

"Iya, sejak kapan kamu ada di hadapanku, Diorama?"

Ia menarik tanganku, "Ayo pulang. Sudah malam. Sudah jam delapan."

"Duluan saja. Masih ada yang harus aku selesaikan."

"Aku tunggu di mobil," katanya sambil berlalu.

                            ***

"Bagaimana kabarnya Seruni, Mas?"

"Baik." Ia menjawab dengan datar.

Kami sama-sama diam. Tidak lagi ada suara kecuali musik yang mengalun dari radio mobil.

Pikiranku melayang, membayangkan menjadi Seruni. Terkadang aku iri dengannya. Iri dengan statusnya menjadi nyonya Diorama.

Tak sengaja aku menarik napas panjang.

"Ada apa? Seperti punya beban berat."
Diorama mendengar bunyi napasku yang kencang.

"Tidak ada. Hanya saja ..." Kata-kataku menggantung, membuatnya penasaran.

"Hanya saja apa?" katanya lagi.

"Hanya saja ... Sudah tidak usah dibahas."

"Mau minum cokelat panas? Kalau kamu mau, kita mampir di kedai langganan."

"Tidak. Aku mau langsung pulang saja."

Suara ponsel Diorama berbunyi. Memecah keheningan di antara kami. Terlihat nama Seruni dalam layar.

"Halo, Dek. Iya, ini masih di jalan. Mau nganter Senja dulu." Dengan ringannya ia menyebutkan namaku kepada Seruni. Aku menatapnya – ia tersenyum kepadaku.

"Bye ." Telepon terputus. Kami masih juga diam.

Mulutku terbuka, nyaris melempar pertanyaan. Tapi, kuurungkan niat itu. Haruskah aku bertanya, pikirku dalam hati.

"Kalo ada yang mau ditanya, ditanyakan saja. Sudah buka mulut kenapa ditutup lagi?" katanya sambil menahan tawa.

Belum sempat aku menanggapi pertanyaannya. Kami sudah sampai di depan rumahku. Aku bergegas turun, agar tidak ada pertanyaan lanjutan.

"Terima kasih, Diorama. Salam untuk ... Hati-hati di jalan."

Komentar