Tidak Seperti Biasanya (2)

Dering telepon kembali berbunyi. Sesaat setelah aku kembali ke ruangan bercat putih, berukuran 3X4 meter. Ruangan yang dihuni oleh dua orang wanita. Aku dan Kemuning, rekan kerjaku.

"Kenapa tidak diangkat?" tanya Kemuning yang mulai terganggu dengan dering telepon.

"Males!" jawabku sekenanya.

"Ada apa? Wajahmu aneh setelah ke ruangan Diorama. Tidak seperti biasanya."

Aku diam, tidak menanggapi pertanyaannya. Berpura-pura sibuk dengan pekerjaan dan menghabiskan sarapan yang sempat tertunda. Memasukan semua sereal ke dalam mutut, hingga tidak ada celah.

Pintu terbuka dengan kasar. Diorama melotot ke arahku. Sementara mulutku penuh. Menggelembung.

Kulirik Kemuning, meminta bantuan. Tetapi ia hanya menggeleng lemah. Lalu, berlalu meninggalkan kami.
Sial! Rutukku dalam hati.

"Habiskan makanan yang ada di mulutmu," kataya, dengan nada tak bersahabat.

"Iya, Pak."

Semua isi dalam mulutku tersembur ke luar. Mengotori kemeja bagian depan.
Aku menahan bersin, hingga aku menjawab perintahnya.

"Maaf, Mas... Pak," kataku kikuk menahan malu sekaligus takut.

Ia segera pergi, saat aku akan membersihkan kotoran di bajunya. Meninggalkan kekakuan tangan di udara.

"Aaarrgggghh..."
Aku geram. Menghempaskan tubuhku ke kursi dengan kasar. Menutup mukaku dengan kertas.

"Kamu kenapa lagi?" tanya Kemuning yang entah kapan sudah berada di tempatnya lagi.

Aku menjelaskan kepada Kemuning dengan kecepatan 80km/jam. Ia hanya melongo menahan tawanya.

"Senja, ikut saya." Ia berlalu dengan angkuhnya.
Kata-kataku terhenti. Seperti ngerem mendadak. Saat ini mungkin wajahku tidak dialiri darah.

Aku memeluk Kemuning. Ingin menangis rasanya.
"Sudah. Sana cepet pergi."

Komentar