Tidak Seperti Biasanya (3)

Aku mengikuti di belakangnya. Menjaga jarak agar tidak terlalu jauh ataupun dekat. Ia berbelok ke arah kantin, bukan menuju ruangannya.

Ia memilih duduk di sudut ruangan yang terlihat lebih sepi. Wajahnya terlihat tenang, tapi sorot matanya menggeliat resah.

Aku menunduk lemah, duduk di hadapannya. Melirik ke arah bajunya yang sedikit basah.

"Kopi arabica dan cokelat panas," katanya kepada petugas kantin.

"Kenapa menunduk terus?" Suaranya tegas tidak seperti biasanya.

Aku menggeleng, masih dengan menunduk.

"Mengerti etika saat sedang berbicara kepada orang lain?"

Mataku terasa perih. Rasanya seperti ada ribuan irisan bawang merah di hadapanku.
Aku menatapnya tajam penuh amarah.

Ia tersenyum sinis sambil menyesap kopi arabica. Segelas cokelat panas, berada di dekatnya. Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering.

"Kamu berubah," katanya dengan pelan, tegas dan lambat.

"Aku tidak berubah," kataku menekankan jawaban.

"Tapi kamu berubah." Nadanya mulai meninggi.

"Aku berubah seperti apa? Coba kamu jelaskan."

"Kamu pikir saja sendiri." Dengan santainya ia kembali menyesap kopi yang masih mengepul.

Emosiku memuncak. Wajahku terasa panas. Air mata yang sejak tadi kutahan perlahan mengalir.

"Jika tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan, saya mau kembali ke ruangan. Menyelesaikan pekerjaan saya." Aku berdiri hendak meninggalkannya.

"Duduk! Saya belum selesai bicara."

Aku kembali duduk, seraya meghapus air mata yang mengalir dengan riang. Segelas cokelat yang sudah tidak terlalu panas disodorkan ke arahku.

Lagi-lagi dengan santainya dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa ia berkata, "Jika sudah dingin, tidak enak lagi."

Aku berdiri. Kedua tanganku terkepal di atas meja.
"Sakit jiwa," kataku dengan gertakan gigi yang tertahan. Lalu, pergi meninggalkannya yang sedang menyesap kopi.

Komentar