Geram
Bayangan-bayangan seram silih berganti dalam kepala. Mereka berebut memasuki ingatanku. Potongan-potongan kejadian bertebaran seperti puzzle, yang meminta untuk disatukan.
Dadaku terasa sesak. Kucoba untuk berteriak sekuat tenaga, tetapi suaraku tidak terdengar. Aku semakin takut.
"Senja, bangun."
Suara Cakrawala membangunkanku. Ia mengguncang tubuhku. Aku terbangun dengan pakaian yang lepek karena keringat.
"Ini minum dulu." Cakrawala memberiku segelas air putih hangat.
Kulirik jam yang menggantung di dinding. Semua jarumnya berhenti di angka dua belas. Aku panik. Badanku bergerak tanpa bisa kukendalikan.
"Ada apa, Senja? Cakrawala memeluk, agar getaran pada badanku berhenti.
Aku menggeleng. Mengeratkan pelukan dan membenamkan kepalaku pada tubuhnya. Ia membelai punggungku, lalu melepaskannya setelah aku merasa tenang.
"Mimpi buruk lagi?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan. Tidak ingin berkata-kata. Lalu kurebahkan kepalaku di pangkuannya.
Ia kembali mengusap-usap kepalaku sambil berkata, " Kamu hanya harus menerima dirimu sendiri. Berdamailah dengan dirimu. Jika kamu bisa menerima semuanya itu, maka hidupmu akan lebih tenang."
"Aku takut. Aku tidak tau harus seperti apa. Bagaimana caraku mengelola ini semua."
"Terima saja dulu anugerah yang diberikan kepadamu. Semakin kamu melawan, maka akan semakin sakit."
Aku menggeleng, lalu terisak pelan.
"Aku takut," kataku di sela tangis.
"Menangis tidak akan menyelesaikan masalah," katanya dengan ringan.
Aku geram, lalu meledak mendengar kata-katanya.
"Kamu tidak pernah mengerti apa yang aku rasa. Kamu tidak pernah merasakan ketakutan dan rasa sakit, yang bahkan aku sendiri tidak paham. Apa yang akan kamu lakukan, jika bayangan kematian orang yang kamu cinta muncul di kepalamu?"
Aku menjeda. Menarik napas panjang agar lebih tenang.
"Akankah kamu memberitahu kepadanya Atau kamu abai terhadap intuisi tersebut?"
Komentar
Posting Komentar