Perjanjian

Beberapa bulan terakhir, desa kami mengalami kekeringan. Air semakin langka. Tumbuhan mulai menemui ajalnya. Dan desa kami terserang kelaparan. Satu persatu warga desa kembali ke bumi. Bahkan, air mata tidak lagi mengalir.

Kulihat Ibu meringkuk di sudut ruangan. Memegangi perut yang semakin buncit.

"Bu, aku pergi."

Ia mengangguk lesu, sebagai tanda sebuah restu.

                                 ***

Aku terbangun, ketika sesuatu menimpa kepalaku. Kulihat sebuah apel yang nyaris busuk di dekatku.

Kebetulan sekali, pikirku. Bisa untuk mengganjal perut.

"Jaaaannggaann makan aku!" Terdengar suara teriakan, tetapi tidak berwujud.

"Tolong, jangan makan aku," katanya lagi.
"Kamu siapa?"
"Aku di dalam apel yang kamu pegang."

Aku memandangi apel dengan lekat. Seekor ulat berwarna jingga keluar dari persembunyiannya.

"Jika tuan tidak memakan aku dan apel ini. Maka aku akan memberikan tuan, apel yang lebih banyak lagi."

Kesepakatan pun terjadi. Ulat itu menyuruh ke semak yang berada di hadapanku. Ia menjanjikan apel yang sangat banyak.

Ulat itu benar. Ia memenuhi janjinya. Aku melihat apel yang sangat banyak. Bahkan, cukup untuk orang-orang di desaku.

                              ***

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki ibu. Ia menarik tangannya yang sedang kulumat.

"Bangun, Nak."

Komentar