Dua Tahun Lalu

Hari ini Samudra terlihat lebih pendiam, hatinya terlalu gundah, hingga ludah pun terasa pahit. Sesungguhnya Samudra bukanlah anak yang sensitif atau cengeng. Ia anak laki-laki yang kuat dan ceria. Bukan tanpa alasan Samudra Samudra seperti itu.

Kala itu tepat dua tahun yang lalu, malam sebelum kepergian ibunya, mereka berbicara layaknya dua orang dewasa. Samudra yang masih berusia sembilan tahun hanya mengingat pesan untuk menjaga Lembayung yang berusia empat tahun.

Lembayung yang setengah mengantuk, tidur di pangkuan ibunya. Ia tidak terlalu mengerti pembicaraan malam itu. Yang ia tahu ibunya akan pergi—seperti pergi ke pasar. Bahkan ia sempat menitip mainan, sebelum benar-benar terlelap.

Samudra menangis, dadanya menahan ribuan ton kesedihan. Di sela isaknya ia bertanya, "Kenapa ibu pergi? Apa karena aku nakal atau nggak nurut sama ibu? Kalau ibu pergi, kita sama siapa?"

Ibu dan anak itu berpelukan dalam derasnya air mata. Tikar lusuh dan lampu lima watt berwarna kuning, menjadi saksi haru biru saat itu. 

"Dengar, Nak." Ibunya menggenggam kedua tangan Samudra. Wajah mereka berhadapan sangat dekat.

"Ibu hanya sebentar. Titip Lembayung. Kamu harus jadi kakak yang kuat, kalau kamu tidak kuat siapa yang akan menjaga Lembayung? Kamu harus menyayangi adikmu. Tidak boleh nakal dan berbaik hatilah selalu. Ibu akan pulang secepatnya. Jika ibu pulang, pertama kali yang ingin ibu lihat adalah kalian." 

"Ibu tidak sayang kita?" 

"Ibu sangat sayang kalian." 

"Lalu, kenapa ibu pergi?"

Ibunya kembali memeluk sampai tangisnya mereda. Sebagian jiwa Samudra hilang bersama lepasnya pelukan ibu malam itu. 

                          ***

Kokok ayam membangunkan Samudra. Kepalanya sedikit pusing. Semalam ia menangis sampai ketiduran. Ia melihat Lembayung dan Lintang masih terlelap. 




 

Komentar