Laki-Laki Trotoar

Jakarta kembali menggeliat dari sayup-sayup mimpi yang tidak pernah lagi indah. Beberapa harapan musnah, beberapa lainnya masih terus berjuang. Aku salah satu orang yang masih berjuang untuk mewujudkannya.

Aku duduk di atas tempatku tidur, ketika matahari belum sepenuhnya bangun. Beberapa kendaraan roda empat berbaris rapi seperti sedang mengantri. Sesekali kendaraan roda dua mengeluarkan lengkingannya sebagai ucapan selamat pagi.

Kulipat alas tidurku—sarung kotak-kotak berwarna biru-merah yang sudah pudar. Aku ingat istri dan anak perempuan yang masih disusuinya, saat mengantarkan sampai depan pintu.

Cepat-cepat kumasukan sarung dalam karung goni saat kulihat mobil truk akan lewat di hadapanku. Aku berdiri di trotoar memanggul cangkul di pundak kanan, pengki dan goni di tangan kiri.

Mobil truk itu lewat begitu saja, seperti tidak menyadari keberadaanku. Aku bersandar pada tiang lampu pinggir jalan, ditemani cangkul dan pengki yang memangku karung goni.

Matahari semakin segar, sinarnya membuat aku malu pada istri dan anak yang harapannya dititipkan kepadaku. 

Sebuah mobil pickup berhenti, memeberi isyarat agar aku naik di belakang mobil. Aku mengangguk sambil tersenyum. Serpihan harapan mulai terkumpul, batinku.

*** 
Jakarta masih menggeliat pelan walau matahari sudah kembali bermimpi. Aku menggelar sarung kotak-kotak berwarna biru-merah yang sudah pudar di trotoar, berharap tidak terinjak oleh pejalan kaki atau terjaring razia satpol PP. 




Komentar