Sejenak (Part 4)
Adakalanya, ingin kukecup pipi atau keningnya di saat-saat yang istimewa seperti ini. Mungkin ia menginginkannya sama seperti aku, atau aku saja yang berharap ia juga menginginkannya.
Matahari semakin terik. Kurangkul ia ke dalam kamar. Duduk berhadapan di atas kasur berukuran 180x200cm.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya penuh selidik.
"Mungkin takdir Tuhan."
Ia terdiam. Kemudian merebahkan diri dengan kedua tangan sebagai penyangga kepala. Aku ikuti ia berbaring dengan posisi miring dan tangan kiriku menyangga sebagian berat kepalaku yang tetap tegak.
"Kenapa kamu pergi di hari ulang tahunmu? Mematikan ponsel dan tidak ada kabar?" Ia menepis tangan yang memainkan rambutnya.
"Itu sudah ritual tahunan. Kamu saja yang baru tau. Aku hanya ingin menepi sejenak dari hiruk pikuk, dari riuhnya ucapan selamat. Aku hanya ingin berbincang dengan diriku tanpa dihalangi siapapun," jawabnya, sambil kembali menepis tanganku yang tidak bisa diam di kepalanya.
"Boleh aku minta sesuatu darimu?" Wajahnya terlihat serius. Ia kembali duduk di atas kasur. Aku mengangguk dan duduk di hadapannya. Aku menetapkan hati, jika ia memintaku untuk menciumnya.
"Antar aku ke tukang tato dan pilihkan di mana letak tato yang bagus di tubuku."
Dahiku mengernyit. Bingung atas permintaannya. Yang kukira ia memintaku untuk menciummya.
Ia beranjak dari tempat tidur menuju pintu, kemudian membukanya lebar-lebar. Memberikan isyarat dengan tangannya agar aku keluar.
"Jemput aku satu jam lagi. Dan pikirkanlah letak tato yang bagus di tubuhku."
"Kamu mai pasang tato apa?"
"Tulisan, kelak bukan seandainya." Kalimat terakhirnya terdengar bersamaan dengan bunyi pintu yang tertutup.
Komentar
Posting Komentar