Menunggu Pulang
Ketiga anak-anak itu duduk melingkar di atas tikar, mengelilingi ponsel berwarna hitam yang mati karena tercebur. Wajah Lembayung nampak kagum memandangi benda mati tersebut, mulutnya sedikit terbuka, mata besarnya enggan berkedip. Di luar suara jangkrik terdengar meramaikan malam seperti bercengkrama satu dengan lainnya.
"Ibu kami belum pulang. Aku tidak bisa mengantarmu."
Mulut Lintang kembali rapat, belum sempat ia mengutarakan keinginannya. Hatinya semakin cemas, menangis pun percuma. Ia hanya berharap keluarganya tidak menyadari ketidak hadirannya di sana.
Lembayung mengambil ponsel berwarna hitam itu, ia memperhatikan tiap detailnya.
"Gimana bisa dipakai untuk menelpon, tombolnya saja tidak ada," celotehnya, sambil menaruh kembali ponsel tersebut.
Samudra tidak banyak bicara kali ini. Tubuhnya rebah di sebelah Lintang. Wajahnya terlihat tenang, tapi satu kekecewan lagi terukir di hatinya. Orang yang ia tunggu-tunggu kepulangannya tidak kunjung tiba.
Malam semakin dingin. Lampu lima watt berwarna kuning membuat mereka semakin ngantuk. Dengkur halus Lintang terdengar, ia tertidur di atas tikar lusuh.
"Kenapa belum tidur?" tanya Samudra pada Lembayung yang memunggunginya.
"Kenapa ibu belum pulang juga, Kak?" Lembayung balas bertanya.
Kaka-beradik itu, kini berhadapan. Samudra memeluk kepala Lembayung. Ia mengelusnya dengan lembut, seperti yang selalu dilakukan ibu mereka ketika menidurkan Lembayung.
Perasaan Samudra semakin berkecamuk. Sudah dua tahun ibu mereka tidak kembali. Kata-kata terakhir yang selalu diingat kakak-beradik itu, "Yang ingin ibu lihat pertama kali ketika pulang adalah kalian."
Komentar
Posting Komentar