Kunang-Kunang

Matahari sudah kembali ke peraduannya. Ketiganya berjalan menyusuri pematang. Lembayung berjalan paling depan. Tangannya memegang benang yang diikatkan dengan buntut capung. Diikuti oleh Lintang dan Samudra pada baris terakhir.

"Kita mau ke mana? Sepertinya sudah semakin jauh dari rumahku." Rasa takut mulai menggerayangi Lintang. Jika terang, wajah pucatnya akan terlihat jelas.

"Akan aku tunjukan sesuatu padamu. Tenang saja."

Mereka mulai memasuki jalan setapak, kanan kiri dipenuhi ilalang yang tingginya hampir sebahu mereka. Tiba-tiba, Lembayung berhenti berjalan, menunduk ketakutan. Melihat Lembayung ketakutan, Lintang semakin takut, tubuhnya dibanjiri keringat yang berebut keluar dari tiap pori kulitnya.

"Ayo! Jalan terus. Sedikit lagi sampai," kata Samudra setengah berteriak kepada Lembayung.

Lembayung menggeleng—masih menunduk. Samudra menarik pelan tangan Lembayung, "Nggak usah takut, ada Kakak di sini." 

"Kakak mau ajak ke tempat hewan yang dari kuku orang mati, kan? Aku takut, Kak." Genggaman tangan Lembayung sangat erat pada Samudra. Sedangkan Lintang tidak bersuara apa-apa, melangkah mengikuti jalan setapak yang diterangi oleh cahaya bulan.

Tidak lama berjalan, Lintang berhenti. Wajahnya di penuhi kekaguman. Mulutnya sedikit terbuka, pupil matanya membesar. Di hadapannya lampu-lampu kecil beterbangan. Jumlahnya sangat banyak, bukan puluhan atau ratusan.

Dengan sangat pelan, Lintang melangkah maju, mendekati lampu-lampu kecil yang beterbangan. Ia terus maju, maju, dan ... sebuah suara mengagetkannya. Teriakan Samudra menghentikan langkah Lintang, "Berhenti! Jangan maju lagi! Nanti kau kecebur dalam rawa!" 

Lintang bergerak mundur, berjalan mendekati Samudra. Sedangkan Lembayung sudah berlarian di antara lampu-lampu kecil yang beterbangan. Tangannya tidak lagi memegang benang yang terikat capung.

"Itu hewan apa?" tanya Lintang. 
"Kau tidak tahu juga itu hewan apa!" jawab Samudra sedikit geram. 

Lintang menggeleng dengan lugunya. 

"Selama ini kau tinggal di mana, Lintang?" 

"Di tempatku tidak ada pohon tinggi. Ada tumbuhan, tapi ditaman dalam pot atau rumah-rumah kaca. Jika keluar rumah, aku selalu menggunakan baju panjang, masker dan kaca mata hitam." Lintang menggambarkan tempat ia tinggal. 

Samudra menarik napas panjang, dan menghembuskannya pelan-pelan. 

"Itu namanya kunang-kunang. Mereka keluar pada malam hari, atau menjelang malam. Mereka hidup di sawah atau rawa-rawa." 

"Kenapa mereka bercahaya? Kata Lembayung, itu berasal dari kuku orang mati," tanya Lintang lagi. 

Samudra tertawa dengan pertanyaan polos Lintang.
"Tidak. Itu hanya mitos. Mereka ada yang memang hidup di kuburan, karena tanah kuburan gembur dan mengandung zat-zat yang dibuthkan kunang-kunang untuk berkembang biak. Juga, banyak pohon-pohon besar di sana."

"Terus, kenapa mereka bisa bercahaya?" Lintang semakin penasaran, karena ada pertanyaan yang belum dijawab.

"Cahaya kunang-kunang berasal dari reaksi zat kimia yang disebut luciferin. Cahaya itu juga yang berfungsi sebagai daya tarik terhadap pasangannya. Masa hidup Kunang-Kunang sekitar dua bulan." 

"Lalu, kunang-kunang makan apa, dan apa fungsinya?" Dengan cepat pertanyaan keluar dari mulut Lintang.

"Kunang-kunang memakan serbuk sari, serangga, atau bahkan mereka memakan kawannya sendiri. Ada juga yang tidak makan sama sekali, umurnya lebih singkat dari yang lainnya. Kunang-kunang menjadi predator bagi serangga yang berpotensi menjadi hama. Jangan bertanya lagi. Sudah malam, nanti kita tersesat." 

Mulut Lintang kembali tertutup. Pertanyaan-pertanyaannya menciut, bersama nyalinya. 

"Lembayung, ayo pulang," teriak Samudra sambil melambaikan tangan.

"Kau tau jalan pulang?" tanya Samudra. 

Lintang menggeleng. Ia takut orang tuanya panik mencari. Baru tadi pagi ia sampai di rumah Kakek-Neneknya.






Komentar