Sejenak (Part 3)
Ketukan terdengar ketika aku kembali menarik selimut. Kulihat jam di ponsel. Bukan waktunya petugas untuk membersihkan kamar. Kubiarkan sejenak. Lalu, terdengar bunyi bel, disusul ketukan lagi.
Dengan enggan aku menuju pintu. Melihat siapa di baliknya melalui lubang kecil yang tersedia di tengah. Tidak terlihat wajahnya. Ia berdiri memunggungi. Kubuka sedikit dengan kaitan masih menempel sebagai pengaman.
Ia berbalik badan. Jantungku berdetak cepat. Wajahnya tersenyum ramah—memamerkan barisan gigi yang berjajar rapi. Kerutan di sudut mata tidak membuatnya terlihat lebih tua.
"Boleh saya masuk?" katanya, dengan santai.
"Iya." Kepalaku menggeleng.
"Iya atau tidak?" Tawanya renyah.
Kupersilakan ia masuk. Cepat-cepat kutaruh ke dalam laci meja, salib yang berwarna karat itu. Kupersilakan ia duduk di balkon sambil menikmati matahari yang mulai terik. Sementara aku merapikan pakaian yang berserakan untuk mengulur waktu.
"Saya ke sini bukan untuk panas-panasan, loh. Saya mau bicara sama kamu."
"Kenapa kamu bisa tau saya di sini?" Kusodorkan sebotol air mineral padanya.
"Kamu, mengacaukan ritual tahunan saya!"
"Saya tidak sengaja melihatmu ketika sarapan tadi. Kamu terlihat seperti orang bingung. Dengan warna baju yang mencolok dan rambut berantakan." Tangannya mengacak-acak rambutku, lalu kami tertawa bersama.
"Selamat ulang tahun," katanya, sambil memberikan sebuah kotak kecil berwarna hitam.
Jantungku kembali berdegup cepat. Mungkin wajahku terlihat aneh. Harus tersenyum atau menangis. Tangan kami masih bergenggaman dengan kotak kecil hitam di antaranya.
Ia menyuruhku memejamkan mata. Aroma tubuhnya menguar, berlarian liar dalam hidung. Embusan napasnya terasa hangat di wajah. Sentuhan tangannya membuat aku sedikit merinding. Ia mengalungkan sesuatu di leherku.
"Buka matanya."
Aku membuka mata—wajah kami berada pada satu garis lurus, dengan jarak dua jari. Aku masih tercengang dengan keadaan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bibirnya berlalih menuju telingaku. Aku kembali memejamkan mata—menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Rosarionya dipakai, ya. Jangan hanya untuk koleksi saja."
Aku mengangguk. Perlahan kuembuskan napas yang sempat tertahan. Kini rosario dengan butiran berwarna hitam dan jingga menggantung di leherku.
"Capek juga menyamakan posisi denganmu." Senyumnya meledek. Aku mencubit pinggangnya. Ia merangkulku dengan hangat.
Komentar
Posting Komentar