Temu

Ia datang setelah 10 menit aku menunggunya dengan gelisah. "Sudah lama menunggu?" sapanya, dengan senyum yang tidak berubah.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Mulutku kelu, dadaku nyaris meledak. Ini pertemuan pertama setelah tiga tahun berpisah. Di kedai yang sama, pada sudut yang sama.

"Maaf," tukasnya lagi. Seraya menyerahkan buku berjudul Diorama Senja.

Wajahku terasa panas, mungkin sudah berubah warna. Aku menunduk semakin dalam. Ia menyentuh tanganku, memberikanku daftar minuman.

Belum sempat aku membuka mulut, ia memesan segelas cokelat panas dan secangkir kopi arabica tanpa gula. Ternyata dia masih hafal kesukaanku, batinku.

Kuberanikan diri untuk menatap lekat wajahnya. Tidak terlalu banyak perubahan dalam dirinya. Senyum dan tatapannya masih teduh seperti dahulu. Seperti tiga tahun yang lalu.

"Terima kasih untuk kisah di buku itu. Karena buku itu, aku mengetahui kenapa kamu tidak pernah kembali."

Air mataku hampir jatuh mendengar kata-katanya.

"Tidak apa-apa, semua sudah berlalu. Tidak perlu lagi penjelasan. Sebagai gantinya, kamu harus menandatangani buku itu," tukasnya sambil terkekeh.

Aku ikut tertawa dengan air mata yang tidak bisa kutahan. Ia beranjak dari tempatnya, duduk di sebelahku. Mendekapku dengan lembut, mencium kepalaku.

Aku terisak. Mengeratkan pelukanku. Aku meminta maaf dalam tangis, membuat kata-kataku tidak terdengar jelas.

Ia melepaskan pelukannya dan kembali menatapku. Memintaku untuk tidak menangis lagi.

"Aku merindumu, jangan pergi tanpa pesan lagi," bisiknya lembut di telingaku.

Komentar

  1. Ajari aku buat cerpen keren kayak gini pliisss

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahha... Terima kasih dibilang keren. Ini masih jauh dari kata keren bu. 🤗

      Hapus

Posting Komentar