Cerita Pagi
Alarm ponselku berbunyi pukul 06.15, masih terlalu pagi untuk mulai beraktifitas. Dengan cepat aku matikan, sebelum benar-benar terjaga. Membenarkan letak selimut dan kembali ke dunia mimpi.
Alarm paling ampuh terdengar menggelegar. Teriakan Ibu membuatku terbangun dengan cepat. Kulihat jam sudah pukul 07.00. Bergegas ke kamar mandi. Mematung dan kembali terpejam.
Lagi-lagi ibu berteriak. Ia mengetahui aku kembali tertidur dalam kamar mandi. Aku merespon teriakan ibu dengan suara guyuran air ke tubuh.
Setelah semuanya selesai kecuali rambut yang masih basah. Aku memesan ojek online untuk mengantarkan menuju stasiun KRL.
***
Stasiun masih dipadati orang-orang yang mengais rezeki di Ibu kota. Aku melihat jam, seharusnya stasiun sudah mulai sepi. Aku menarik napas panjang, bersandar di tiang tengah peron.
Terlambat lagi, pikirku. Kubiarkan orang-orang berebut berdesakan memasuki kereta commuter. Aku memilih menunggu kereta berikutnya. Itu pun kalau bisa masuk tanpa berdesakan.
Satu kereta lewat. Masih saja menyisakan orang-orang di peron. Belum juga berkurang, karena ketambahan orang-orang yang baru datang. Kereta datang lagi. Aku masih memilih mematung di tiang tengah peron.
Tidak manusiawi! Aku merutuk dalam hati. Harus seperti inikah untuk sesuap nasi. Kereta melintas cepat. Tinggal beberapa orang saja di depanku. Aku maju, berdiri di ujung peron, di belakang garis kuning. Garis aman untuk berdiri menunggu kereta.
Matahari mulai tinggi. Tak berapa lama, kereta kembali memasuki stasiun. Aku melangkah ke dalam kereta tanpa harus berebutan. Walau di dalamnya masih tetap berdesakan.
Aku berpikir, seperti inikah perjuangan orang-orang yang hidup di kota satelit. Kota penyangga Jakarta. Orang-orang dengan gaji pas-pasan. Yang hanya bisa membeli rumah di pinggiran Kota.
Inilah hidup, penuh dengan perjuangan dan pilihan. Yang berjuang—yang bertahan.
Komentar
Posting Komentar