Kopi Arabica

Aku memasuki ruangan kerjanya dengan tergesa. Ia menelepon saat pantatku baru menempel di kursi. Memintaku untuk segera menyerahkan laporan yang akan dipersentasikan hari ini.

Aroma kopi arabica tercium saat aku membuka pintu. Aromanya menguar, masuk ke dalan ingatanku. Tiba-tiba wajah bernama Diorama ada di kepalaku. Lintang memiliki persamaan dengan Diorama, mereka menyukai kopi Arabica.

"Bapak, suka kopi arabica juga?"

"Juga?" Ia terdengar menggumam.

"Tidak usah basa-basi. Mana laporan yang saya kasih dua hari yang lalu?"

Keningku berkerut. Aku tidak pernah ditugaskan apapun dua hari yang lalu. Sedangkan, dua hari yang lalu aku tidak masuk karena sakit.

"Tapi, Pak."

Kata-kataku tidak selesai. Lintang memotongnya dengan nada tinggi, "Belum selesai? Ngapain aja kamu selama dua hari ini, Senja?" Nadanya meledek.

"Maaf, Pak. Sudah dua hari saya tidak masuk." Mataku berkaca-kaca. Dadaku penuh dengan kekesalan.

"Mungkin bapak memberikan tugas itu kepada Seruni dua hari yang lalu. Saya permisi," kataku, seraya berdiri meninggalkan ruangan.

"Panggilkan Seruni. Suruh ke ruangan saya."
Kata-katanya angkuh. Tidak ada rasa bersalah tersirat di wajahnya.

Aku meninggalkan ruangan dengan kesal yang teramat sangat. Tapi, aroma kopi arabica masih membekas dalam kepalaku. Dua orang penikmat kopi arabica dengan sikap bertolak belakang.

Lintang bukan Diorama. Diorama berbeda dengan Lintang. Dua pria tidak saling kenal yang memiliki persamaan, penyuka kopi arabica.

Komentar