Jendela dan Pintu
Tuan, kita hanya terpisah beberapa jarak.
Tidak terlalu jauh, bahkan kita masih bisa saling tatap dengan mata telanjang.
Tuan hanya perlu duduk di tempat, dan melihat ke luar jendela.
Tuan, jarak kita memang tidak terlalu jauh. Hanya saja kita terhalang oleh pintu dan jendela, juga kerai yang menutupi jendela ruangan tuan.
Tuan, aku titipkan kepada jendela dan pintu tentang rasa rindu.
Tentang cemas kala tak melihat tuan
Tentang gelisah saat tuan tak menyapa.
Pintu dan jendela pernah berbisik kepadaku. Jika tuan sering berdiri di balik mereka hanya untuk sekadar melihatku.
Tuan mengintip dari balik kerai, lalu menutupnya sambil tersenyum.
Tuan, kita pernah berdiri, berdua, di antara pintu dan jendela. Kita sama-sama diam. Tapi, mata kita berbicara banyak hal.
Aku pergi dengan tersipu, wajahku panas seperti kepiting rebus.
Sebelum tirai jendela ditutup. Aku melihat tuan, masih dengan posisi seperti tadi. Dengan wajah yang lebih cerah.
Tuan, sejak saat itu. Tirai tidak pernah lagi terbuka. Bahkan, jendela pun tidak mengetahui alasannya.
Kini, hanya pintu yang menjadi penghubung kita. Ia mengerti tentang rindu yang di bawa dari ruang lain menuju ruangan tuan.
Komentar
Posting Komentar