Pesan Singkat (Part 2)

Tidak ada tanda-tanda kedatangan dirinya. Minuman di hadapanku tidak lagi panas. Secangkir kopi arabica tanpa gula dan segelas cokelat. Kembali aku melihat jam, menunjukan pukul 21.30.

Aku memanggil pegawai kedai. Memesan dua cangkir kopi dan dua gelas cokelat panas. Pegawai kedai mencatat dan segera meninggalkanku. Wajahnya terlihat heran, tapi ia tidak berani bertanya.

Di hadapanku sudah tersaji tiga cangkir kopi dan tiga gelas minuman cokelat. Minuman-minuman tersebut tidak aku sentuh sama sekali. Aku hanya memandangi minuman yang kembali menjadi dingin.

Kedai hampir tutup. Aku kembali memanggil pegawai memesan kopi dan minuman cokelat, masing-masing tiga. Pegawai kedai bertanya, meyakinkan akan pesananku. Sedangkan enam gelas minuman tergolek utuh di atas meja.

"Sediakan saja pesanan saya." Aku terus melihat ke luar jendela tanpa peduli pegawai yang keheranan.

"Kamu gila, Diorama?" Kata-katanya mengalihkan pandanganku.

"Untuk siapa minuman sebanyak ini?" Belum sempat aku menyapanya. Ia sudah nyerocos seperti petasan.

Mulutku kembali tertutup. Ada lega yang kurasakan. Beban puluhan ton menghilang dari pundakku.

Aku tinggalkan tiga lembar uang ratusan di atas meja. Menariknya pergi ikut bersamaku. Aku masih diam ketika berada dalam mobil. Kunyalakan mesin tanpa menjalankannya.

Kami sama-sama terdiam. Aku menunggu penjelasannya tentang pesan singkat yang ia kirimkan kemarin malam dan penjelasan kenapa ia baru sampai ke kedai, saat kedai akan tutup. Aku meliriknya. Tatapannya kosong ke arah depan.

"Ada apa?" Aku memulai pembicaraan. Percuma jika menunggu dia berbicara duluan.

"Kamu membuatku khawatir, dengan isi pesan singkatmu. Kenapa kamu baru sampai?" tanyaku lagi.

Ia masih diam. Perlahan aku menjalankan mobil. Ponselku berdering, panggilan dari Seruni. Ia pasti khawatir, hampir tengah malam aku belum juga pulang. Aku mengiriminya pesan singkat, aku masih di jalan. Jangan khawatir.

"Aku antar kamu pulang." Aku membelai kepalanya.

"Tidak usah berpikiran yang aneh-aneh. Jangan pergi terlalu jauh. Jika sudah sangat penat, menepilah. Kamu hanya perlu rehat sejenak."

Ia terisak pelan. Menghapus air mata yang jatuh ke pipinya.
"Maaf," ucapnya di sela isak.

"Tidak apa-apa. Aku selalu ada untuk kamu, Senja."


Komentar