Pendakian Rinjani (Part 7)

Lima hari sudah aku berada di atas gunung Rinjani. Baru tiga perempat perjalanan. Sedangkan, besok sore aku sudah harus kembali ke Jakarta.

Aku tersihir oleh pesona dan keindahan yang disuguhkan. Hari sudah malam, aku masih berada di Plawangan Senaru. Sedangkan teman seperjalananku, tidak akan melanjutkan perjalanan, karena ada yang cidera di antara kami.

Aku bertanya-tanya kepada orang-orang sekitar. Bertanya apakah akan ada yang turun malam ini juga. Pada akhirnya aku ikut turun bersama kelompok pendaki yang berasal dari Bekasi.

Perjalanan malam sangat menyebalkan. Karena jalur yang menurun dan mataku yang rabun ketika malam hari. Kami disambut dengan jalur yang penuh batu. Tidak hanya batu-batu besar tetapi juga batu-batu kecil, yang ketika diinjak akan tergelincir.

Aku jalan bergandengan pada bapak-bapak. Beberapa kali aku terpeleset nyaris jatuh ke dalam jurang. Ia memegangku seperti anaknya sendiri sampai pada tempat perkemahan.

Perjalanan masih sangat jauh. Aku mulai khawatir, karena kelompok mereka tidak jadi melanjutkan perjalanan. Tapi, semesta mendukung dan mengabulkan doaku.

Aku bertemu kelompok pendaki yang berasal dari Malang. Aku mengenal mereka. Sejak awal pendakian kami selalu beriringan, dan terkejut karena mereka akan melanjutkan perjalan turun.

Aku pamit kepada kelompok pendaki dari Bekasi. Tidak hanya kami berempat, tapi ada satu orang pendaki asal Jakarta, dan dua orang pendaki dari Bandung yang harus turun malam itu juga.

Total kami tujuh orang dan hanya aku satu-satunya wanita. Jalanan tidak lagi berbatu, tetapi sudah memasuki hutan dengan jalan setapak yang licin. Kami jalan berbaris. Aku berada di urutan ke dua.

Beberapa kali aku terpeleset di jalan yang licin. Celanaku sudah penuh dengan noda tanah. Robek di bagian belakang karena tersangkut akar pohon.

Kami berhenti sejenak, di tanah yang sedikit lapang. Hanya untuk mengambil napas dan sekadar membasahi kerongkongan. Aku bergeser pelan-pelan, menjauhi mereka.

"Mau ke mana?" Salah seorang dari mereka menyadari kepergianku.

"Mau pipis," kataku malu-malu.

Ia menghampiriku, mengantarku menuju semak. Ia berdiri tidak jauh membelakangiku.

"Jangan pergi diam-diam. Bilang saja, jangan sungkan."

Aku mengangguk malu-malu. Lalu, kembali pada kelompok. Kami melanjutkan perjalanan, dengan mitos yang beredar. Jalur yang akan kami lalui sangat angker. Bahkan, porter setempat pun tidak berani melintas jika sudah malam.

Sesungguhnya aku takut, tetapi aku lebih takut ketinggalan pesawat esok hari. Aku melihat jam, waktu menunjukan tepat pukul 00.00. Aku tidak berani melihat kiri-kanan jalanan. Aku fokus pada yang ada di depanku saja.

Akhirnya kami sampai di pos dua. Kami kembali beristirahat. Memasak nasi, membakar ikan dan memakan perbekalan yang ada. Memasang musik dengan sangat kencang. Tidak perduli pada orang-orang yang meringkuk di dalam tenda sekitar kami.

Setelah satu jam lebih kami beristirahat. Kami kembali berjalan. Langkah semakin cepat, jalur tidak terlalu licin dan menurun.  Pelan-pelan kakiku mulai tidak bersahabat. Sudah berat untuk di ajak melangkah.

Pos satu sudah di depan mata. Aku tidak bisa lagi bergerak, bahkan untuk satu langkah pun. Aku dipapah, dibantu berjalan menuju tempat peristirahatan. Tepat saat adzan subuh berkumandang

Komentar