Mendengarkan
Tuan, apa ketakutan terbesar dalam dirimu? Jatuh miskin? Tua? Tidak berguna? Diabaikan? Atau kematian?
Aku rasa, kamu hanya takut tidak didengarkan.
Kamu selalu bilang, jika kamu tidak pernah takut tua atau mati sekalipun. Menurutmu itu adalah hal yang pasti, dan kita hanya tinggal menunggu. Kamu tidak perduli anggapan orang lain, karena kamu merasa jalanmu sudah benar.
Kamu terlihat gelisah ketika orang di sekitarmu, mulai tidak mendengar ceritamu. Kamu mulai berputar mencari kisah yang baru. Dan seperti itu seterusnya sampai kami benar-benar berhenti untuk mendengar lalu pergi.
Tuan, aku takut merasa tidak berguna, lalu diabaikan, kemudian mati. Aku takut mati dengan perasaan sia-sia. Setiap aku bilang, aku takut. Kamu selalu abai, kamu anggap aku lebay.
Sejak saat itu, aku berhenti bercerita. Aku diam dan hidup berdampingan bersama rasa takut. Juga, dengan telinga palsu untuk tetap bisa mendengar cerita-ceritamu yang lain.
Kala itu, aku melihatmu dengan wajah murung. Tidak ada cerita keluar dari bibirmu. Matamu sendu seperti tidak tidur semalaman. Aku urungkan niat untuk bertanya. Aku menemani, duduk di sebelahmu dalam diam.
"Aku takut. Aku takut kehilangan. Aku takut ditinggalkan," katamu dengan suara bergetar.
Mulutku masih terkatup rapat. Menatap iba pada kamu yang ada di sebelahku.
"Bicaralah. Jangan hanya diam."
"Mendengarkanlah. Agar tidak ditinggalkan." Aku berlalu pergi, meninggalkan kamu yang terdiam.
Komentar
Posting Komentar