Pertemuan Terakhir
Nona, kemarin aku bertemu dengannya. Kami duduk berhadapan. Ia semakin mempesona. Setelah dua minggu kami tidak bertemu.
Sejenak kami terdiam. Ia memutar-mutar cincin yang berada di jari manis tangan kanannya. Aku memperhatikan dengan seksama. Tiba-tiba, seperti ada ribuan lebah yang menyengat pelan di dadaku.
Aku menunduk, mengatur pelan napas yang mulai sesak.
"Apa kamu bahagia?"
Aku terkejut. Mengangkat kepalaku dan menatap wajahnya.
"Apa kamu bahagia?" Ia kembali bertanya.
Aku mengangguk sambil menyeruput cokelat panas yang mulai dingin. Lalu, kami terdiam lagi. Ia menatapku tajam. Seperti tidak percaya pada jawabanku.
Nona, sesungguhnya aku berbohong padanya. Bagaimana mungkin aku bilang bahagia, tetapi ribuan lebah menyengat pelan di dadaku. Jika aku jawab tidak, ia akan bertanya kenapa. Aku menghindari pertanyaan lanjutan, yang akan membuatku semakin sakit.
Ia menyentuh tanganku—menggenggam dengan perlahan. Dengan senyum termanisnya kembali bertanya, "Apa kamu bahagia?"
"Aku bahagia dengan hidupku. Dengan keadaanku."
"Juga, dengan hubungan kita?" lanjutnya lagi.
"Tidak penting aku bahagia atau tidak," tukasku.
Ia kembali memutar cincin di jari manisnya. Melepasnya dan memutar-mutar di atas meja.
"Pulanglah, ada wanita yang setia menunggumu di rumah." Kami berpegangan dengan cincin di antara genggaman kami.
Nona, setelah pertemuan itu, kami tidak pernah lagi bertemu. Bahkan untuk sekadar bertukar pesan. Ribuan lebah pun perlahan berhenti menyengat dadaku. Meninggalkan tubuhku yang mulai terbujur kaku.
Komentar
Posting Komentar